Indonesia
sungguh merupakan negeri yang besar dan kaya dengan segala macam
tradisi dan kebudayaan. Salah satunya adalah tradisi dalam pesta
pernikahan di sebuah desa di ujung timur Pulau Madura tepatnya Desa
Pinggirpapas Kabupaten Sumenep. Dalam menyambut dan merayakan pesta
pernikahan di desa ini ada beberapa hal yang berbeda dengan daerah lain
di Madura.
Ada dua sebutan dalam acara hajatan pernikahan di desa Pinggirpapas, yang pertama adalah hajatan yang dikemas dengan nama “Salamettan Kabin” (Selamatan Pernikahan) dan yang kedua adalah pesta pernikahan yang dikemas dengan nama atau sebutan “Karja”(Pesta
Pernikahan). Umumnya “Salamettan Kabin” dilakukan oleh mereka yang
memang dari sisi ekonomi kurang mampu, namun ada juga orang yang dari
segi finansial memadai namun enggan melaksanakan hajatan pernikahan
dengan besar-besaran, tentunya dengan berbagai macam alasan sehingga
lebih memilih melaksanakan dengan cara sederhana “Salamettan Kabin”
(selamatan pernikahan). Kemudian ada juga beberapa warga ketika sudah
melaksanakan “Salametta Kabin” (Selamatan pernikahan) beberapa bulan
kemudian mereka juga melaksanakan “Karja” (Pesta Pernikahan).
Biasanya
dalam hajatan pernikahan “Salamettan Kabin” rangkaian acaranya
dilaksanakan pada pagi hari. Dan dalam acara tersebut dilaksanakan akad
nikah serta pembacaan Sholawat Nabi yang ditutup dengan do’a.
Undanganpun biasanya hanya dihadiri ratusan orang dan tidak menerima
tanda restu dalam bentuk amplop atau apapun, dalam bahasa masyarakat
setempat disebut “Tak Ngala’ Tolong”
(Tidak menerima sumbangan berupa apapun). Ketika pulang para undangan
ini membawa plastik kresek yang berisi Nasi dan beberapa makanan, warga
menyebutnya “Berkat”.
Sementara jika melangsungkan hajatan pernikahan dalam bentuk “Karja” (Pesta Pernikahan) prosesnya lumayan panjang dan
melelahkan. Betapa tidak, persiapan yang sangat matang dibutuhkan
mengingat acara itu biasanya dihadiri oleh ribuan undangan. Ada beberapa
tahapan dengan segala macam sebutan mulai persiapan hingga acara
berlangsung.
Pertama adalah “Ngin-tangngin”(Begadang
semalam suntuk). Ngin-tangngin biasanya dilakukan sepuluh hari,
seminggu, atau lima hari sebelum hari pesta pernikanan berlangsung, hal
ini tergantung keinginan shohibul hajat (tuan rumah). Dalam acara
ngin-tangngin biasanya diisi dengan duduk bersila bersama layaknya orang
dalam acara pertemuan atau pengajian sambil mengobrol dan juga sambil
memutar video kesenian seperti
kerawitan dan sinden atau video ludruk . Menjelang larut malam formasi
mulai berubah, warga yang berusia lanjut tetap duduk bersila atau bahkan
mundur lebih dulu untuk istirahat. Sementara yang masih tergolong usia
muda mulai dengan membuat lingkaran dan duduk santai sambil bermain
catur atau kartu untuk menghilangkan rasa kantuk, tak ada taruhan dalam
bentuk uang dalam permainan ini tetapi bermain hanya untuk mengusir
kantuk.
Kedua adalah “Reng-tareng”
(mendirikan dapur sementara) untuk keperluan pesta. Reng-tareng
biasanya dibuat dari rancangan bambu dan ditutup dengan terpal. Proses
ini dilakukan empat hari sebelum acara.
Ketiga adalah “ Tattarop”(
mendirikan terop/tenda). Ini dilakukan biasanya tiga hari menjelang
pesta pernikahan. Dihari ini kesibukan sangat nampak sekali, mulai dari
pemasangan terop, sound system dan berbagai peralatan pesta.
Ke empat adalah “Nyambelli”
(Penyembelian hewan sapi). Sapi biasanya didatangkan satu hari sebelum
disembelih atau sore hari ketika proses pendirian terop. Proses
penyembelian sendiri biasanya dilakukan pada dini hari dan tepat di
depan rumah shohibul hajat (tuan rumah). Pagi harinya mulailah ibu-ibu
sibuk memotong daging untuk sajian pesta esok hari. Sementara ibu-ibu yang lain sibuk dengan persiapan makanan dan suguhan lainnya.
Kelima adalah “Daddina”
( hari pesta pernikahan ). Desa Pinggirpapas memang mempunyai kebiasaan
yang berbeda dari desa lainnya. Jika di desa lain undangan datang
sepanjang hari tapi tidak begitu dengan di Pinggirpapas. Undangan paling
padat adalah dipagi hari sekitar jam 07.00 WIB s/d 09.00 WIB. Memang
dalam undangan biasanya dicantumkan Jam : Sehari, namun kebiasaan
masyarakat setempat selalu saja undangan membludak di pagi hari dan
bahkan membuat panitian kewalahan, kecuali tamu atau undangan yang dari
tempat lain yang memang datang dan menghadiri acara itu hingga sore
hari. Dalam pesta ini bisanya dihibur
oleh Kesenian Sinden dan Kerawitan atau belakangan ada beberapa yang
digantikan dengan orgen tunggal. Masakan khusus untuk hidangan pesta
dikenal dengan sebutan “Supra”
yaitu hidangan yang disajikan untuk 10 orang dengan format melingkar,
nasi dalam 1 nampan besar, 1 piring makanan ringan sejenis agar-agar
atau ada juga dengan buah pisang, 2 mangkok kuah gulai, 2 mangkok air
untuk membasuh tangan dan dikelilingi 10 piring yang sudah berisi ikan
dan lauk serta 10 air gelas dan
tissu yang biasanya terbuat dari koran atau buku bekas. Kata “Supra”
ini seringkali dipakai oleh warga untk menghadiri undangan. Sehingga
jika seseorang yang mengajak teman atau tetangga untuk menghadiri pesta
pernikahan sering mengajak dengan berkata “Ayok Asupra’a”
Yang terakhir adalah “Matoron Tattarop” (menurunkan terop) atau ada juga yang bilang “Li-mabeli”
(mengembalikan peralatan). Ini dilakukan sore hari setelah acara atau
keesokan harinya tergantung seberapa banyak dan ramai undangan yang
hadir.
Demikianlah
sedikit cerita dari pelaksanaan Pesta Pernikahan di Desa Pinggirpapas
Kab.Sumenep. Tentu hal ini tidak sama dengan pelaksanaan pesta
pernikahan di daerah lain. Namun bagaimanapun juga perbedaan dalam
melaksanakan pesta pernikahan ini semoga tidak menghilangkan atau
mengurangi tujuan utama dari pernikahan itu sendiri yaitu membentuk
keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, apalagi dalam agama pernikanan
itu sendiri adalah merupakan sebuah ibadah.
Catatan Orang Desa
11 Mei 2014
Abu Jamiledy