DESA BERSIH BUKANLAH MIMPI

Bukanlah perkara mudah untuk menghilangkan stigma desa Pinggirpapas yang selama ini dikenal sebagai desa kumuh menjadi desa bersih dan asri. Hal ini menjadi perhatian serius berbagai pihak, baik internal dan eksternal.  Tak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan buruk masyarakat  terkait sampah dan lingkungan bukanlah sesuatu yang mudah untuk merubahnya. 

Salah satu kebiasan buruk masyarakat  yang memberi kontribusi terhadap kekumuhan adalah “ternak liar” yakni kambing dan ayam yang dibiarkan berkeliaran di pemukiman warga. Hampir seluruh kambing di desa ini tidak memiliki kandang, jikapun ada hanya ditempati pada malam hari, sementara siang hari hewan ternak berkaki empat ini berkeliaran bebas hingga desa sebelah. Akibatnya hampir tidak ada satu halaman rumahpun di Pinggirpapas  yang terbebas dari kotoran kambing.

Sejauh ini saya melihat sepertinya belum ada langkah serius pihak terkait untuk merealisasikan mimpi,  mewujudkan desa Pinggirpapas yang bersih dan sehat. Sejujurnya saya akui memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk menyadarkan masyarakat  akan pentingnya hidup bersih dan sehat serta keluar dari lingkaran kekumuhan, namun bukan berarti kita tidak bisa merubahnya.

Hari ini saya merasa bahagia dan bangga, bagai menemukan setitik cahaya di tengah malam gelap gulita. Seorang warga desa Pinggirpapas telah memberi contoh yang baik dan semestinya ditiru oleh warga yang berternak kambing dan ayam serta diapresiasi dan diberi perhatian khusus oleh aparatur desa dan pegiat lingkungan hidup, ini dapat saya saksikan secara kasat mata. 

“Orang super” ini namanya Bapak Marsuto, tinggal di Dusun Dhalem RT.05 RW.06 Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Beliau memelihara kambing dan ditempatkan di sebuah tanah lapang berukuran 3x4 meter. Di tempat ini juga dibuatkan atap agar kambing tak kepanasan dan kehujanan. Tiap hari Bapak Marsuto memberi makan kambingnya dengan rumput dan daun yang beliau ambil dari pehohonan di sekitar desa.

Menurut saya orang ini luar biasa dan bisa kita dijadikan suri tauladan bagi peternak lainnya. Pak Marsuto beternak kambing tanpa memberikan dampak negatif untuk warga disekitarnya.  Jadi tidak ada yang mustahil jika kita punya keinginan yang kuat untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik. Desa Pinggirpapas yang bersih, sehat serta asri bukanlah sebuah mimpi semata, akan tetapi kita bisa mewujudkannya.

Salam Perubahan !

Jurus Sapu Bersih Pelanggan 900 VA

Kebijakan pemerintahan Jokowi mencabut subsidi listrik 900 VA begitu dirasakan oleh masyarakat yang kurang mampu. Pihak terkait beralasan bahwa subsidi banyak dinikmati oleh mereka kaum berpunya. Punya kulkas, punya AC, dan punya perabotan lainnya yang tergolong mewah.

Sebagai tindak lanjut kemudian pemerintah membentuk tim dan  menyarankan agar mereka pengguna listrik 900 VA yang kurang mampu  mengajukan surat pengaduan untuk mendapatkan kembali subsidi. Berdasarkan Permen ESDM 29/2016 ini, Rumah Tangga Miskin dan Tidak Mampu yang belum menerima subsidi tarif tenaga listrik dapat menyampaikan pengaduan melalui Desa/Kelurahan. Ada posko dan formulir pengaduan yang harus diisi.

Terkait pengurusan berkas untuk pengaduan ini  fakta dibawah tidak semudah yang pemerintah bayangkan. Saya ambil contoh adalah keluarga Pak Busani dan Ibu Samila yang tergolong miskin namun menggunakan listrik 900 VA. Keluarga miskin ini adalah warga desa Pinggirpapas kecamatan Kalianget kabupaten Sumenep yang beberapa tahun lalu mendaftar ke kantor PLN Sumenep. Niat mereka inginnya yang 450 VA, namun pihak PLN setempat beralasan stok meteran yang 450 VA lagi kosong yang ada stok meteran 900 VA. Maka dengan sangat terpaksa keluarga ini memasang listrik yang 900 VA.

Dengan menjadi pelanggan listrik 900 VA keluarga ini otomatis siap dengan konsekwensinya, yakni biaya beban dan tarif listrik lebih mahal. Bayangkan saja, keluarga miskin yang tinggal di rumah gedek sederhana ini harus mananggung beban tagihan listrik sebesar Rp.40.000,- hingga Rp.60.000,- setiap bulannya. Ini harga yang mereka bayar sebelum pencabutan subsidi listrik.

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik saat ini membuat beban hidup keluarga ini kian meningkat. Kini mereka harus membayar lebih mahal dari sebelumnya. Di rumah gedek ini tidak ada perabotan listrik apalagi AC, karena mereka tidak perlu listrik untuk menikmati AC sebab lubang di dinding rumah dan juga genteng yang tanpa langit-langit sudah menjadi 'AC Alami' bagi mereka. Terkait "kenaikan tarif listrik" atau yang istilah pemerintah "pencabutan subsidi" keluarga ini sudah menyerahkan berkas-berkas semisal KTP dan KK kepada perangkat desa untuk ditindaklanjuti,  namun hingga saat ini belum ada kejelasan. Pihak desa beralasan belum ada petunjuk teknis terkait pengajuan surat tidak mampu ini dan meminta keluarga Pak Busani untuk bersabar.

Yang ironis keluarga miskin ini tidak memiliki 'Kartu Sakti' KPS ( Kartu Perlindungan Sosial ) yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagai penanda Rumah Tangga Miskin. Ini membuktikan bahwa data terkait warga miskin masih belum valid dan perlu pembenahan.

Maka kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik tak pelak menjadi jurus sapu bersih tanpa pandang bulu.

Melestarikan Tradisi "Ngangurap" di Bumi Garam


Komplek Pemakaman "Bujuk cokop"

Seminggu menjelang acara "Nyadar" (Tradisi ungkapan syukur atas anugerah garam) masyarakat Desa Pinggirpapas dan Desa Karanganyar Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep melakukan tradisi "Ngangurap". Kata Ngangurap berasal dari bahasa Madura yang berarti mengecat. Tradisi ngangurap adalah membersihkan dan mengecat area pemakaman para wali Allah yang ada di Pinggirpapas, Karanganyar dan Desa Kebundadap Kecamatan Saronggi. Dalam kegiatan ini warga desa Pingirpapas dan Karanganyar melakukannya di tiga desa yaitu di Pinggirpapas, Karanganyar dan Kebundadap karena komplek pemakaman ada tiga lokasi yang berbeda.

Warga yang hadir dalam tradisi ngangurap datang atas keinginan sendiri tanpa merasa diperintah. Ini semua dilakukan karena warga sangat menghormati para wali Allah yang merupakan leluhur warga. Tidak hanya berasal dari desa Pinggirpapas dan desa Karanganyar saja, tetapi dari desa lain yang merupakan keturunan warga Pinggirpapas dan Karanganyar.

Di desa Pinggirpapas dan Karanganyar masyarakat terkonsentrasi di area pemakaman/asta Bujuk Cokop dan Bujuk Karang Tengah, sedangkan di desa Kebundadap di area pemakaman/asta  Bujuk Laok Songai (Makam Wali Allah di sisi selatan sungai). Dalam tradisi Ngangurap di Bujuk Cokop selalu dihadiri oleh para "Bengaseppoh" (ketua adat Pinggirpapas dan Karanganyar). Para Bengaseppoh ini duduk dalam satu ruangan balai yang terpisah dari warga biasa.

Warga biasanya membawa berbagai alat yang dibutuhkan, seperti misalnya kuas untuk alat mengecat, sapu dan peralatan lainnya. Seluruh dana yang dibutuhkan dalam tradisi ini murni berasal dari "Nak potoh" (warga desa pinggirpapas dan Karanganyar).Warga mengecat dan membersihkan keseluruhan area pemakaman tanpa terkecuali. Tradisi Ngangurap ini dilakukan sudah ratusan tahun dan turun-temurun. Setiap tahun Ngangurap biasanya dilaksanakan di awal musim kemarau.

Pinggirpapas, 02 Agustus 2014

Mengintip Idul Fitri di Desa Pinggirpapas




Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” begitulah kata pepatah yang berarti beda tempat beda adat istiadatnya. Seperti umat islam pada umumnya usai puasa ramadhan berakhir warga Desa Pinggirpapas juga larut dalam perayaan hari kemenangan yaitu Hari Raya Idul Fitri atau warga setempat menyebutnya “Tellasan”.
Sebelumnya dalam menjalankan ibadah puasa di desa ini ada keyakinan kuat yang tetap dipertahankan oleh beberapa warga dalam menentukan  awal ramadhan. Setiap tahun di desa ini biasanya ada tiga atau dua hari yang berbeda dalam menentukan awal puasa. Puasa pertama yang memulai lebih awal disebut sebagai golongan “Poasaan se toa”( Puasanya orang tua). Golongan ini punya patokan sendiri dalam menentukan awal Ramadhan. Selanjutnya golongan yang kedua melaksanakan puasa keesokan harinya. Puasa golongan ini disebut sebagai “Poasaan se Ngodha”(puasanya orang muda). Dan yang terakhir adalah golongan yang tetap patuh pada ketentuan yang ditetapkan oleh Departemen Agama. Puasa golongan yang terakhir ini disebut “Poasaan Pangulo” (Puasanya Penghulu) atau “Poasaan pamarentah” (Puasanya Pemerintah). Terkadang awal puasa golongan yang kedua bersaman dengan puasa yang mengikuti keputusan Departemen Agama, karena golongan “Poasaan se ngodha” pasti melaksanakan puasa satu hari setelah “Poasaan se toa”.
Begitupun dalam menentukan akhir ramadhan biasanya golongan yang ikut “Poasaan se toa” akan mengakhiri puasa lebih awal dari ketentuan yang ditetapkan Departemen Agama. Akan tetapi dalam hal melaksanakan sholat Idul fitri mereka tetap mengikuti sholat pada hari yang ditentukan pemerintah. Tradisi menyambut Lebaran di desa Pinggirpapas diawali pada dini hari yaitu “Nyekar” (ziarah kubur) ke makam leluhur dan ke makam anggota keluarga lainnya. Selain mendo’akan ahli kubur mereka juga membawa kembang dan juga air yang dicampur bedak tradisional untuk disiramkan atau dipercikkan ke batu nisan.
Suasana Nyekar di subuh hari

Usai melaksanakan Sholat Idul Fitri di Mesjid dan Mushalla dimulailah tradisi sungkeman atau yang disebut sebagai “ Bhattean”. Warga yang lebih muda akan mendatangi kerabat yang lebih tua untuk “Abhatte”. Tradisi “bhattean” ini di dominasi mereka yang berusia antara 5 hingga 40 tahun. Sementara yang berusia diatas itu biasanya berdiam diri di rumah untuk menyambut kerabatnya yang lebih muda. Kemeriahan suasana “bhattean” akan terlihat pada sore hingga malam hari. Berbeda dengan di tempat lain tradisi “bhattean” di desa ini hanya berlangsung satu hari. Namun bagi yang mempunyai kerabat diluar daerah mereka tetap membuka pintu hingga beberapa hari. Idul Fitri tahun 2014 ini bertepatan dengan musim kemarau, praktis suasana tak begitu ramai. Maklum hampir separuh atau bahkan lebih penduduk di desa ini jika musim kemarau mereka bekerja diluar desanya dan di wilayah Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Sidoarja dan lain-lain. Mereka rata-rata bekerja sebagai pengggarap lahan garam dan baru pulang ketika kemarau sudah berakhir.

Kelebihan dan Kekurangan WC Sungai




Bagi sebagian besar warga Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep WC Sungai bukanlah sesuatu yang asing, kami warga setempat menyebutnya “Jamban”. Hampir seluruh penduduk Desa ini menggunakan WC sungai, hanya beberapa warga saja yang sudah menggunakan WC biasa di rumahnya.
Kebiasaan ini memang sudah berlangsung turun - temurun, maklum saja mungkin karena secara geografis desa ini dikelilingi oleh sungai dan tambak, sehingga dahulu mungkin warga berfikir lebih enak menggunakan jamban. Namun seiring pergantian zaman dan tingkat pendidikan pengguna wc biasa dari tahun ketahun semakin meningkat. Tetapi keberadaan jamban masih tetap dapat kita jumpai hingga saat ini dan masih menjadi pilihan terbesar masyarakat di desa ini.
Jika ditinjau dari sisi kesehatan mungkin wc sungai tidaklah bagus, namun seperti kita ketahui segala sesuatu pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Dan kali ini saya akan mencoba memberikan sedikit penjelasan tentang kelebihan dan kekurangan wc sungai. Maklum saya sendiri pengguna WC sungai hehehe....
Kelebihan WC Sungai :
1.  > Tidak perlu menyiram dan menguras penampungan, karena kotoran akan langsung dibawa arus sungai atau dimakan ikan.
2.   Bisa menikmati udara bebas dan pemandangan alam sekitar.
3.   >  Tidak menimbulkan bau yang tidak sedap, kecuali air sungai surut.
Untuk perawatan biasanya hanya dibutuhkan beberapa potong bambu atau kayu serta paku. Perawatan ini dilakukan oleh warga yang peduli dengan cara menyisihkan uang pribadi atau sumbangan sesama warga setempat.
Kekurangan WC Sungai :
1.   >  Jika kita kebelet sedangkan jamban masih antri ini akan berbahaya, karena bisa saja kita buang air besar di celana kita, hehehe...
2.   >  Jika malam hari kebelet ini juga berbahaya, karena jika orangnya penakut pasti akan buang air di celana atau sering dijumpai kotoran dibungkus plastik kresek. Wow...!!
3.   >Jika pengguna tidak menjaga kebersihan terkadang banyak ceceran kotoran disekitar jamban, dan hal ini bisa menimbulkan bau yang tidak sedap, apalagi ketika air surut bau menyengat terasa dan  menjadi pemandangan yang mengerikan.
4.  > Sering juga terjadi insiden kecil dimana pengguna WC sungai ini kecebur karena kayu atau bambu rapuh akibat kurangnya perawatan.
Demikian sedikit ulasan tentang kelebihan dan kekurangan WC Sungai. Tentu diharapkan kedepan seiring semakin pesatnya perkembangan zaman ada teknologi yang lebih murah dan perhatian dari berbagai pihak yang lebih baik terkait masalah wc sungai ini. Dan semoga pengguna WC sungai akan semakin berkurang jumlahnya. Serta diharapkan dari lingkungan yang sehat akan lahir generasi Indonesa yang sehat.
Salam dari ujung timur Madura.

Kamus Bahasa Girpapas (Pinggirpapas)


Mungkin sebagian orang di luar Madura atau bahkan warga Madura sendiri tidak tahu bahwa di daerah ini selain bahasa Madura ternyata ada beberapa bahasa lokal. Salah satunya adalah bahasa di Desa Pinggirpapas (Girpapas) Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Selain logat yang tidak sama dengan Madura pada umumnya, ada beberapa kalimat yang hanya warga desa ini saja yang faham artinya.Dan kali ini saya akan mencoba berbagi beberapa kalimat lokal di Desa Pinggirpapas. Kamus bahasa Pinggirpapas ini mungkin bisa membantu anda jika berkunjung ke desa Pinggirpapas atau sekedar ingin tahu tentang beberapa kalimat lokal di desa ini.
Bahasa lokal itu antara lain :
Apong        : api
Aba'dhe      : kamu
Acandhing  : Bermain atau beraktifitas di bawah guyuran hujan
Adhamo     : Membasuh muka
Bhalaban    : Kepiting
Bibik          : Pocong
Bidhing       : Kalau
Ca'nade      : terserah kamu
de               : mu (kata ganti milik) Contoh : Sapedade anyar (sepeda kamu baru)
Ebhakar      : makan ikan tanpa nasi (ikan saja)
Elle             : kamu (orang yang lebih tua) Contoh : Pak elle tedunga? (Pak sampeyan mau tidur?)
Enjin           : WTS
Je' ejje'en   : Permainan di kalangan anak-anak (misalnya main boneka, dapur, berjualan dll.)
Jejjeli          : bujuk, contoh : ejejjeli = dibujuk
Kereng       : Pergilah..!
Kake          : kamu (laki-laki)
Ke              : dia (laki-laki) Contoh : Ke Agus nginum ( Agus minum)
Komaran   : hal yang tidak baik; penyakit (biasanya diucapkan saat kesal terhadap seseorang)
                   Contoh :    Ekakana Komaran Kake yaah..
Leggis      : Cepat
Nakan       : makan
Nini          : kamu (perempuan)
Ni             : dia (perempuan) Contoh : Ni Yuli raddin (Yuli cantik )
Nten         : Bibi
Nyakolah  : Bersekolah
Odha        : Paman
Palastrik  : Plastik
Sakebbal : celana pendek
Sekeng    : celana dalam
Siccang   : Pewarna Makanan
Thongkethong : Boneka

Biasanya di desa ini pengucapan huruf “S” diganti dengan “H”. Contoh : Saebu = Haebu (Seribu), Sajuta = Hajuta (Sejuta).
Demikian dulu dan insya Allah kamus bahasa Pinggirpapas ini akan terus di update mengingat masih ada beberapa kalimat yang belum masuk dalam kamus pendek ini.

Secuil Cerita Tentang Pernikahan di Madura


13998171341860532732

Indonesia sungguh merupakan negeri yang besar dan kaya dengan segala macam tradisi dan kebudayaan. Salah satunya adalah tradisi dalam pesta pernikahan di sebuah desa di ujung timur Pulau Madura tepatnya Desa Pinggirpapas Kabupaten Sumenep. Dalam menyambut dan merayakan pesta pernikahan di desa ini ada beberapa hal yang berbeda dengan daerah lain di Madura.
Ada dua sebutan dalam acara hajatan pernikahan di desa Pinggirpapas, yang pertama adalah hajatan yang dikemas dengan nama “Salamettan Kabin” (Selamatan Pernikahan) dan yang kedua adalah pesta pernikahan yang dikemas dengan nama atau sebutan “Karja”(Pesta Pernikahan). Umumnya “Salamettan Kabin” dilakukan oleh mereka yang memang dari sisi ekonomi kurang mampu, namun ada juga orang yang dari segi finansial memadai namun enggan melaksanakan hajatan pernikahan dengan besar-besaran, tentunya dengan berbagai macam alasan sehingga lebih memilih melaksanakan dengan cara sederhana “Salamettan Kabin” (selamatan pernikahan). Kemudian ada juga beberapa warga ketika sudah melaksanakan “Salametta Kabin” (Selamatan pernikahan) beberapa bulan kemudian mereka juga melaksanakan “Karja” (Pesta Pernikahan).
Biasanya dalam hajatan pernikahan “Salamettan Kabin” rangkaian acaranya dilaksanakan pada pagi hari. Dan dalam acara tersebut dilaksanakan akad nikah serta pembacaan Sholawat Nabi yang ditutup dengan do’a. Undanganpun biasanya hanya dihadiri ratusan orang dan tidak menerima tanda restu dalam bentuk amplop atau apapun, dalam bahasa masyarakat setempat disebut “Tak Ngala’ Tolong” (Tidak menerima sumbangan berupa apapun). Ketika pulang para undangan ini membawa plastik kresek yang berisi Nasi dan beberapa makanan, warga menyebutnya “Berkat”.
Sementara jika melangsungkan hajatan pernikahan dalam bentuk “Karja” (Pesta Pernikahan) prosesnya lumayan panjang dan melelahkan. Betapa tidak, persiapan yang sangat matang dibutuhkan mengingat acara itu biasanya dihadiri oleh ribuan undangan. Ada beberapa tahapan dengan segala macam sebutan mulai persiapan hingga acara berlangsung.
Pertama adalah “Ngin-tangngin”(Begadang semalam suntuk). Ngin-tangngin biasanya dilakukan sepuluh hari, seminggu, atau lima hari sebelum hari pesta pernikanan berlangsung, hal ini tergantung keinginan shohibul hajat (tuan rumah). Dalam acara ngin-tangngin biasanya diisi dengan duduk bersila bersama layaknya orang dalam acara pertemuan atau pengajian sambil mengobrol dan juga sambil memutar video kesenian seperti kerawitan dan sinden atau video ludruk . Menjelang larut malam formasi mulai berubah, warga yang berusia lanjut tetap duduk bersila atau bahkan mundur lebih dulu untuk istirahat. Sementara yang masih tergolong usia muda mulai dengan membuat lingkaran dan duduk santai sambil bermain catur atau kartu untuk menghilangkan rasa kantuk, tak ada taruhan dalam bentuk uang dalam permainan ini tetapi bermain hanya untuk mengusir kantuk.
Kedua adalah “Reng-tareng” (mendirikan dapur sementara) untuk keperluan pesta. Reng-tareng biasanya dibuat dari rancangan bambu dan ditutup dengan terpal. Proses ini dilakukan empat hari sebelum acara.
Ketiga adalah “ Tattarop”( mendirikan terop/tenda). Ini dilakukan biasanya tiga hari menjelang pesta pernikahan. Dihari ini kesibukan sangat nampak sekali, mulai dari pemasangan terop, sound system dan berbagai peralatan pesta.
Ke empat adalah “Nyambelli” (Penyembelian hewan sapi). Sapi biasanya didatangkan satu hari sebelum disembelih atau sore hari ketika proses pendirian terop. Proses penyembelian sendiri biasanya dilakukan pada dini hari dan tepat di depan rumah shohibul hajat (tuan rumah). Pagi harinya mulailah ibu-ibu sibuk memotong daging untuk sajian pesta esok hari. Sementara ibu-ibu yang lain sibuk dengan persiapan makanan dan suguhan lainnya.
Kelima adalah “Daddina” ( hari pesta pernikahan ). Desa Pinggirpapas memang mempunyai kebiasaan yang berbeda dari desa lainnya. Jika di desa lain undangan datang sepanjang hari tapi tidak begitu dengan di Pinggirpapas. Undangan paling padat adalah dipagi hari sekitar jam 07.00 WIB s/d 09.00 WIB. Memang dalam undangan biasanya dicantumkan Jam : Sehari, namun kebiasaan masyarakat setempat selalu saja undangan membludak di pagi hari dan bahkan membuat panitian kewalahan, kecuali tamu atau undangan yang dari tempat lain yang memang datang dan menghadiri acara itu hingga sore hari. Dalam pesta ini bisanya dihibur oleh Kesenian Sinden dan Kerawitan atau belakangan ada beberapa yang digantikan dengan orgen tunggal. Masakan khusus untuk hidangan pesta dikenal dengan sebutan “Supra” yaitu hidangan yang disajikan untuk 10 orang dengan format melingkar, nasi dalam 1 nampan besar, 1 piring makanan ringan sejenis agar-agar atau ada juga dengan buah pisang, 2 mangkok kuah gulai, 2 mangkok air untuk membasuh tangan dan dikelilingi 10 piring yang sudah berisi ikan dan lauk serta 10 air gelas dan tissu yang biasanya terbuat dari koran atau buku bekas. Kata “Supra” ini seringkali dipakai oleh warga untk menghadiri undangan. Sehingga jika seseorang yang mengajak teman atau tetangga untuk menghadiri pesta pernikahan sering mengajak dengan berkata “Ayok Asupra’a
Yang terakhir adalah “Matoron Tattarop” (menurunkan terop) atau ada juga yang bilang “Li-mabeli” (mengembalikan peralatan). Ini dilakukan sore hari setelah acara atau keesokan harinya tergantung seberapa banyak dan ramai undangan yang hadir.
Demikianlah sedikit cerita dari pelaksanaan Pesta Pernikahan di Desa Pinggirpapas Kab.Sumenep. Tentu hal ini tidak sama dengan pelaksanaan pesta pernikahan di daerah lain. Namun bagaimanapun juga perbedaan dalam melaksanakan pesta pernikahan ini semoga tidak menghilangkan atau mengurangi tujuan utama dari pernikahan itu sendiri yaitu membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, apalagi dalam agama pernikanan itu sendiri adalah merupakan sebuah ibadah.
Catatan Orang Desa
11 Mei 2014
Abu Jamiledy

Nasib Pendidikan Anak Di Bumi Yang Kaya


Sumenep- Pinggirpapas adalah sebuah desa yang terletak  diujung paling timur  Pulau Madura.  Jumlah penduduknya lumayan banyak yaitu + 4.000 jiwa. Di musim kemarau hampir separuh atau bahkan mungkin lebih penduduknya eksodus ke luar daerah. Daerah tujuan mereka adalah 4 kabupaten di Madura dan sebagian wilayah Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan.

Tujuan mereka tak lain adalah mencari penghidupan yang layak  sebagai pekerja garam musiman di lahan-lahan milik  warga luar daerah. Di Surabaya mereka tersebar di berbagai lokasi, namun yang paling banyak mereka dapat kita jumpai di daerah Greges, Tandes, Manukan, Sememi, Tambak langon, Tambak Osowilangon, Babat Jerawat, Pakal, Tambakdono dan  disekitar GOR dan TPA.Mereka berangkat awal musim kemarau  yaitu sekitar bulan Mei-Juni, dan baru kembali setelah musim kemarau berakhir yaitu bulan Nopember atau Desember, Jika dihitung dalam hitungan bulan kurang lebih mereka meninggalkan kampung halamannya selama 6 bulan. Ini berarti mereka tinggal di Madura hanya setengah tahun.
Ironisnya mereka bekerja dengan membawa serta keluarga termasuk anak-anak. Anak-anak yang ikut serta rata-rata usianya 0 – 17 tahun. Anak-anak ini bukannya tidak sekolah, mereka tetap sekolah walaupun hanya pada musim hujan saja. Bagi yang lahannya dekat dengan pemukiman biasanya orang tuanya menyekolahkan anaknya di daerah tujuan, Namun ini jumlahnya sedikit sekali hanya beberapa anak dari ratusan anak. Jika kita mau melihat dan merasakan betapa ilmu yang mereka dapatkan dibangku sekolah selama setengah tahun sungguh tidak maksimal, Wajar saja jika rata-rata nilai raport mereka tidak menunjukkan prestasi yang diharapkan.
Sungguh memprihatinkan nasib pendidikan anak-anak ini, jika kemarau datang mereka harus rela meninggalkan bangku sekolahnya dan ikut serta orang tuanya. Di rantau mereka tinggal di alam terbuka dan hanya tinggal di sebuah gubuk kecil yang berukuran kira-kira 3 x 4 meter dengan kondisi yang memprihatinkan.Siang hari aktifitas mereka adalah bermain dengan alam dan panasnya matahari di musin kemarau. Sementara pada malam hari mereka harus berjuang melawan dinginnya udara malam dan gigitan nyamuk liar.
Bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP atau SMA, mereka tetap ikut orang tuanya. Cuma bedanya mereka bisa membantu pekerjaan orang tuanya. Namun pada malam harinya sebagian dari mereka keluyuran ke tempat-tempat keramaian bahkan ke tempat hiburan. Alasannya untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja membantu orang tuanya.Lambat laun mereka sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kerasnya hidup di kota besar seperti Surabaya termasuk dalam kebiasaan yang kurang baik. Sebut saja misalkan Tawuran, Tempat hiburan malam, minuman keras bahkan sampai ke lokalisasi mereka datangi.
Celakanya ketika mereka kembali ke kampung halamannya beberapa diantara mereka menularkan “ilmu”nya kepada teman-teman di desanya. Ketika ada keramaian misalnya sesekali “alumni” Surabaya ini  yang menjadi koordinator untuk urusan tawuran dan mabuk-mabukan.

Dengan kondisi ini adakah pihak yang peduli ....???!Sumenep daerah yang kaya , sumber alamnya melimpah, dan di Pinggirpapas ada BUMN ( PT.Garam ) , Jika memang terpaksa mereka harus keluar daerah untuk mencari penghidupan layak, paling tidak ada kepedulian dari berbagai pihak untuk memperhatikan kondisi pendidikan anak-anak ini.

Lalu masa depan seperti apa yang kita harapkan dari kondisi pendidikan anak yang seperti ini..???  Benarkah kita sudah Merdeka..???? Oh.. Indonesiaku……..
Sumenep, 26 Agustus 2013
 (Abu Jamiledy)

Bahasa Paling Spesifik dan Terdengar Kasar di Madura


Tidak banyak orang yang tahu kalau di Madura sendiri ternyata banyak bahasa lokal, mereka punya kosakata sendiri, dan dari beberapa kalimat tidak dimengerti oleh masyarakat Madura secara umum. Bahasa lokal tersebut antara lain Kangean dan Pinggirpapas. Jika Kangean berada di ujung timur Madura dan merupakan wilayah kepulauan, lain halnya dengan Pinggirpapas. Hanya butuh waktu kurang lebih 10 menit untuk dapat sampai ke desa ini atau berjarak 10 km dari kota Sumenep.

Desa ini menurut saya istimewa, pertama,karena di desa inilah cikal bakal garam di Madura. Madura yang dikenal dengan sebutan ‘’Pulau Garam” sebenarnya bermula dari desa ini, karena di desa inilah pertama kali ditemukan garam dan sampai saat inipun masih merupakan pusatnya garam di Madura, ini dapat kita lihat dari lahan yang begitu luas, baik yang dimiliki masyarakat atau yang dikelolah oleh PT.GARAM (Pesero)

Yang kedua,dari sisi bahasa di desa ini berbeda dari masyarakat Madura pada umumnya. Hal ini bisa kita bedakan dari logat bahasa yang berbeda dari bahasa Madura pada umumnya . Bahkan sampai ada beberapa kalimat yang mana kalimat tersebut tidak dimengerti oleh masyarakat Madura lainnya.

Keunikan ini akan saya jelaskan sedikit antara lain :

1. Logat Bahasa
Logat bahasa Pinggirpapas sangat berbeda dengan logat bahasa Madura pada umumnya. Jika kita membayangkan bahwa Pinggirpapas yang merupakan salah satu desa di Kec.Kalianget Kab. Sumenep sama dengan gaya atau logat bahasa Madura secara umum itu adalah anggapan yang sangat keliru. Mereka memang berbahasa Madura akan tetapi logatnya saja yang berbeda dan ada kosakata yang sedikit berbeda.

2. Kalimat lokal
Ada beberapa kalimat yang tidak dimengerti oleh masyarakat desa lain , saya akan memberikan sedikit contoh namun itupun sebatas yang saya tahu, karena kebetulan saya adalah warga Pinggirpapas, kalimat itu antara lain :
Odhe = paman
Nten = bibi
Kake = kamu (laki-laki)
Nini = kamu (perempuan)
Toa = Kakek atau nenek
Thong-kethong = boneka
Kereng = pergilah
Enjin = PSK
Bheleben = Kepiting
Dan masih banyak kalimat yang lain

2. Spesifik
Dibandingkan bahasa Madura pada umumnya barangkali ini adalah bahasa yang paling spesifik . ini dapat kita lihat dari beberapa kalimat berikut :
De = kata ganti milik, contoh : “songkokde yang artinya “ songkokmu”. Ini adalah salah satu letak spesifiknya bahasa Pinggirpapas. Jika di wilayah lain misalnya berkata : “bukuna ba’na” (bukunya kamu), maka di Pinggirpapas cukup dengan mengatakan “bukude”( bukumu).
Kalimat lain adalah “Kake” (yang berarti sebutan untuk laki-laki), dan “Nini”( sebutan untuk perempuan). Jika di Madura memanggil lawan bicara dengan kata”ba’na” atau “be’en” ini bisa ada 2 penafsiran, apakah laki-laki atau untuk perempuan, namun di pinggirpapas dibedakan dengan “Kake, Nini”
Keunikan dan kekhususan lain adalah : Jika memanggil orang yang lebih tua = “Elle” dan masih ada kalimat lain yang tidak bisa saya jelaskan secara rinci.

3. Kasar
Kekasaran yang saya maksud bukan dalam arti yang negatif, tetapi ini mungkin hanya didasarkan penilaian orang, atau tergantung kita yang menilai. Namun bagi saya ini adalah suatu ciri khas/ keunikan di desa Pinggirpapas. Hal yang saya maksud kasar adalah di Pinggirpapas jarang sekali orang yang menggunakan bahasa badura dengan bahasa yang halus ( Enggi Bunten). Seperti kita ketahui baik bahasa Madura ataupun bahasa Jawa ada kalimat halus dan kalimat kasar (maaf jika saya mengistilahkan kurang pas). Sebagai contoh di Jawa kalimat “ Satu” = Siji (kasar) Setunggal (halus).

Nah, di Pinggirpapas orang yang menggunakan bahasa “Enggi Bunten”(bahasa halus Madura) itu sangat jarang sekali. Jikapun ada hanya dalam hitungan jari. Namun jangan khawatir warga Pinggirpapas juga adalah warga yang tahu menempatkan diri, dalam artian mereka tetap akan menggunakan bahasa Madura Halus bilamana bicara dengan orang yang bukan warga asli Pinggirpapas.

Demikian sedikit keunikan di Pinggirpapas dan merupakan salah satu keunikan di negeri yang Bhinneka Tunggal Ika. Dan jika ada yang berniat mendalami tentang keunikan Pinggirpapas saya dengan senang hati siap membantu, tentunya sesuai kemampuan saya.
Salam dari ujung timur pulau Madura
10 Nopember 2013
(Abu jamiledy)

sumber : 

Powered by Blogger.