Dewasa ini moral anak bangsa
semakin memprihatinkan, tidak hanya di kalangan siswa SMA dan perguruan tinggi
namun bahkan dalam usia yang masih dini yakni SD dan SMP. Dengan semakin
canggihnya teknologi di era digital saat ini semakin mempermudah anak untuk
mengakses dan mengkonsumsi berbagai hal yang kurang baik. Tak heran kenakalan
dan kebrutalan remaja saat ini membuat miris berbagai pihak khususnya orang
tua. Tawuran, seks bebas, obat-obatan terlarang seolah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari sebagian remaja saat ini. Dari data yang dilansir oleh Komisi
Perlindungan Anak beberapa tahun lalu misalnya akan membuat kita tercengang,
data tersebut mengungkap perilaku seksual remaja SMP dan SMA yaitu 93,7% Pernah ciuman, Petting, oral sek, 62,7% remaja
SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMA pernah aborsi, 97% pernah nonton film
porno.
Menyikapi berbagai persoalan
tersebut patut kiranya kita semua berfikir untuk semakin memperkuat benteng
pertahanan putra-putri kita. Salah satunya dengan memperkuat keimanan dan
ketaqwaan agar anak-anak ini bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk
untuk masa depan mereka. Pendidikan agama amat sangat penting ditanamkan sejak
dini. Tentu ini tidak hanya menjadi tugas pihak sekolah, apalagi pelajaran
agama di sekolah umum terasa sangat minim, hanya beberapa jam dalam seminggu.
Semakin derasnya pengaruh negatif
saat ini membuat sebagian orang tua berfikir dan memilih pendidikan pesantren
sebagai alternatif untuk menjaga moral remaja saat ini. Memang tidak ada
jaminan bahwa lulusan pesantren akan menjadi manusia sholeh dan sempurna, namun
barangkali ini pilihan yang paling tepat dari dulu hingga sekarang dan bahkan
sampai nanti. Pindidikan pesantren tak dapat diragukan lagi dalam mengajarkan
secara detail semua hal yang berkaitan dengan agama. Saat ini ada pesantren yang
fokus dalam bidang agama namun ada juga yang menggabungkan antara pendidikan
agama dan pendidikan formal. Pendidikan pesantren adalah mendidikan yang secara
maksimal membentuk karakter generasi yang islami.
Problemnya dewasa ini adalah
meski tidak diragukan lagi peranan pesantren dalam menjaga moral anak bangsa,
namun masih banyak orang yang ragu kualitas lulusan pesantren dan enggan untuk
menitipkan buah hatinya. Keengganan tersebut tak lepas dari banyaknya
masyarakat sekarang yang menginginkan anaknya kelak hidupnya sejahreta dari
sisi ekonomi. Tak heran jika mereka memilihkan anaknya sekolah favorit yang
mereka nilai menjanjikan dan ketika lulus langsung bisa bekerja dengan bekal
ijazah dari sekolah dan perguruan tinggi ternama.
Tantangan pesantren juga terasa berat dengan adanya isu-isu miring yang
diarahkan ke pesantren, baik yang
berasal dari eksternal maupun dari internal pesantren sendiri. Dari luar
masyarakat yang tidak menyukai pendidikan pesantren seringkali menyudutkan
pesantren dengan isu misalnya tidak ada jaminan kalau lulusan pesantren itu menjadi
pribadi yang alim dan ahli ibadah. Memang ada satu dua kasus semisal ada anak
lulusan pesantren yang kemudian berbaur dalam masyarakat dan perilakunya brutal
dan kelewatan. Hal inilah yang kemudian dijadikan sample oleh orang-orang yang
tidak menyukai pesantren.
“Ah.., lulusan pesantren itu
akhlaqnya lebih parah dari lulusan sekolah umum, lihat saja itu si anu, dia
lulusan pesantren tapi kelakuannya seperti itu..!” begitulah kata-kata yang
sering mereka lontarkan untuk menggoyahkan semangat atau keinginan orang yang
ingin menitipkan anaknya di pesantren. Mereka yang tidak menyukai pesantren
lupa atau mungkin menutup mata bahwa jumlah kenakalan anak yang menempuh
pendidikan diluar pendidikan pesantren jumlahnya jauh lebih besar. Sebagai
contoh berapa ratus kasus siswa antar sekolah yang terlibat tawuran,
mengkonsumsi obat terlarang, seks bebas dan kenakalan remaja lainnya karena
kurangnya kontrol dari berbagai pihak.
Hal ini nyaris atau bahkan tidak akan dijumpai di kalangan pesantren.
Jika kita mau jujur dan objektif tentu kita bisa membedakan dan menilai bahwa
lulusan pesantren jelas punya nilai lebih khususnya dibidang agama.
Faktor lain yang menyebabkan turunnya
minat untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren adalah adanya sejumlah alumni
yang pernah mengenyam pendidikan pesantren juga enggan menitipkan anaknya.
Mereka menilai pendidikan dan aturan di pesantren terlalu ketat dan merampas
kebebasan. Mereka merasa pesantren adalah penjara yang membatasi ruang gerak
mereka. Tak heran jika alumni yang semacam ini kemudian memilih pendidikan
formal sebagai tempat anaknya menuntut ilmu.Tak cukup itu saja bahkan mereka
malah mempengaruhi orang lain. “Jangan menitipkan anak di pesantren, kasihan
mereka tiap hari, siang malam makan kitab.” Ungkapan itu pernah diucapkan oleh
salah seorang alumni di pulau Madura.
“Anakku tak akan kutitipkan ke pesantren, cukup aku saja yang merasakan pahit
getirnya pesantren,” itu juga kalimat yang sempat terlontar.
Para alumni yang enggan
menitipkan putranya di pesantren barangkali lupa bahwa pesantren itu adalah
lembaga yang memang tempat anak digembleng dan dilatih. Pesantren tak ubahnya
pendidikan dalam kemiliteran. Karena pesantren tempat mencetak manusia yang
diharapkan tangguh, maka tidaklah berlebihan jika pesantren jauh dari kesan
mewah. Kita tentu tahu dan mendengar jika seseorang yang ingin menjadi anggota
TNI dan POLRI harus menjalani beberapa tahapan dan menjalani latihan yang
sangat berat, misalnya masuk gorong-gorong, makan seadanya di dalam hutan,
tidur di hutan dengan dikerubuti nyamuk dan berbagai macam “siksaan” lainnya. Mereka tidur di hutan
bukan karena tidak punya rumah, mereka kekurangan makanan bukan karena mereka
tak punya beras, tetapi semua semata-mata untuk melatih mental mereka agar
ketika mereka lulus menjadi pribadi yang tangguh dan siap dalam segala macam
kondisi.
Begitulah perumpamaan kehidupan
pesantren. Jika kita ingin memanjakan anak tentu tidak di pesantren tempatnya.
Pesantren memang dirancang untuk melatih anak agar senantiasa menjadi pribadi
yang sederhana dan mandiri. Jika di pesantren disediakan makanan enak, tidur di
kasur empuk, nonton tv dan main game itu bukan pesantren tetapi hotel atau tempat
wisata dan tempat bermain.
Dari sinilah dibutuhkan pemikiran
yang jernih dan penuh keikhlasan bagi mereka yang menginginkan anak yang sholeh
dan sholehah. Jika kita bertanya dimanakah dan bagaimana cara mencetak generasi
yang sholeh dan sholehah.?? Tentu pesantrenlah jawabannya. Sering kita dengar
dalam sambutan pernikahan selalu mendoakan semoga mempelai berdua menjadi
keluarga yang sakinah, dikaruniahi anak yang sholeh dan sholehah. Bagaimana
bisa kita mengharap anak yang sholeh dan sholehah jika kita tidak menuntun
mereka kearah sana. Analoginya adalah “Bagaimana bisa anak kita sampai ke Semarang
kalau bus yang kita pilih arahnya menuju Banyuwangi,” Bagaimana kita bisa
berharap anak-anak kita sholeh dan sholehah jika kita tidak memilihkan
pendidikan yang memang arahnya kesana.
Dari sisi kesejahteraan ekonomi barangkali
masih ada anggapan pesantren kurang menjanjikan, namun bukan berarti tidak
bisa. Berapa banyak tokoh yang lulusan pesantren mampu berkiprah dalam
persaingan hidup. Banyak diantara mereka yang menjadi pengusaha dan pejabat
bahkan sampai presiden. Jadi mulailah berfikir positif tentang pesantren dan
yakinlah bahwa rezeki itu kuasa Allah. Ada sebagian orang tua yang menitipkan
anaknya terkadang tidak mencari ridha Allah melainkan mencari aman. Suatu contoh orang tua yang punya
anak gadis ditanya, “Anak anda kenapa dititipkan di pesantren ?”, orang tua
tersebut menjawab, “Ya, karena anak saya perempuan dan jika saya sekolahkan di
sekolah umum saya khawatir terjadi sesuatu dengan dia,”. Jawaban ini tentu
tidak salah, namun alangkah indahnya jika jawabannya adalah semata-mata niat
menitipkan anak hanya karena Allah dan bukan karena ingin menyelamatkan anak dari bahaya pergaulan bebas. Jika niat itu tulus
dan ikhlas tentu orang tua tidak akan peduli anaknya laki-laki atau perempuan
tetap di titipkan di pesantren karena Allah.
Lembaga pesantren sendiri mungkin
sudah saatnya berbenah dan beradaptasi dengan zamannya. Tentu perubahan
tersebut tetap dalam nilai-nilai yang tidak melanggar aturan yang ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya. Barangkali ada aturan atau sistem pesantren yang sudah
tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Santri zaman dahulu tidak sama dengan
santri sekarang, dan permasalahanpun semakin kompleks. Misalnya kemudian di pesantren juga mengadakan
pelatihan-pelatihan yang diharapkan setelah santri lulus mereka sudah siap
bersaing dengan lulusan pendidikan formal lainnya.Semoga kedepan pesantren
menjadi salah satu lembaga yang menjadi pilihan nomor satu dan terpercaya. Terlepas
sekolah umum atau pesantren pilihan kita, semoga kita tetap bisa membimbing
anak-anak kita.
Lagi-lagi semua tergantung orang
tua masing-masing, mau diarahkan kemana anak-anak kita.
Catatan orang awam
25 Nopember 2014