“Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya” begitulah kata pepatah yang berarti beda tempat beda adat
istiadatnya. Seperti umat islam pada umumnya usai puasa ramadhan berakhir warga
Desa Pinggirpapas juga larut dalam perayaan hari kemenangan yaitu Hari Raya
Idul Fitri atau warga setempat menyebutnya “Tellasan”.
Sebelumnya dalam menjalankan ibadah puasa di desa ini ada keyakinan
kuat yang tetap dipertahankan oleh beberapa warga dalam menentukan awal ramadhan. Setiap tahun di desa ini biasanya
ada tiga atau dua hari yang berbeda dalam menentukan awal puasa. Puasa pertama
yang memulai lebih awal disebut sebagai golongan “Poasaan se toa”( Puasanya orang tua). Golongan ini punya patokan
sendiri dalam menentukan awal Ramadhan. Selanjutnya golongan yang kedua
melaksanakan puasa keesokan harinya. Puasa golongan ini disebut sebagai “Poasaan se Ngodha”(puasanya orang muda).
Dan yang terakhir adalah golongan yang tetap patuh pada ketentuan yang
ditetapkan oleh Departemen Agama. Puasa golongan yang terakhir ini disebut “Poasaan Pangulo” (Puasanya Penghulu)
atau “Poasaan pamarentah” (Puasanya
Pemerintah). Terkadang awal puasa golongan yang kedua bersaman dengan puasa
yang mengikuti keputusan Departemen Agama, karena golongan “Poasaan se ngodha” pasti melaksanakan
puasa satu hari setelah “Poasaan se toa”.
Begitupun dalam menentukan akhir ramadhan biasanya golongan
yang ikut “Poasaan se toa” akan
mengakhiri puasa lebih awal dari ketentuan yang ditetapkan Departemen Agama. Akan
tetapi dalam hal melaksanakan sholat Idul fitri mereka tetap mengikuti sholat pada
hari yang ditentukan pemerintah. Tradisi menyambut Lebaran di desa Pinggirpapas
diawali pada dini hari yaitu “Nyekar”
(ziarah kubur) ke makam leluhur dan ke makam anggota keluarga lainnya. Selain mendo’akan
ahli kubur mereka juga membawa kembang dan juga air yang dicampur bedak
tradisional untuk disiramkan atau dipercikkan ke batu nisan.
Suasana Nyekar di subuh hari |
Usai melaksanakan Sholat Idul Fitri di Mesjid dan Mushalla
dimulailah tradisi sungkeman atau yang disebut sebagai “ Bhattean”. Warga yang lebih muda akan mendatangi kerabat yang lebih
tua untuk “Abhatte”. Tradisi “bhattean” ini di dominasi mereka yang
berusia antara 5 hingga 40 tahun. Sementara yang berusia diatas itu biasanya
berdiam diri di rumah untuk menyambut kerabatnya yang lebih muda. Kemeriahan
suasana “bhattean” akan terlihat pada sore hingga malam hari. Berbeda dengan di
tempat lain tradisi “bhattean” di desa ini hanya berlangsung satu hari. Namun bagi
yang mempunyai kerabat diluar daerah mereka tetap membuka pintu hingga beberapa
hari. Idul Fitri tahun 2014 ini bertepatan dengan musim kemarau, praktis
suasana tak begitu ramai. Maklum hampir separuh atau bahkan lebih penduduk di
desa ini jika musim kemarau mereka bekerja diluar desanya dan di wilayah Jawa
Timur seperti Surabaya, Gresik, Sidoarja dan lain-lain. Mereka rata-rata
bekerja sebagai pengggarap lahan garam dan baru pulang ketika kemarau sudah
berakhir.
0 comments:
Post a Comment