Saya Buta Aksara, Saya Cinta Indonesia


Widanto, usianya menginjak 11 tahun dan anak ini adalah anak yang buta aksara serta Yatim pula, sejak dua tahun lalu ditinggal ayah tercintanya. Widanto terlahir dalam keluarga miskin di desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Karena beberapa faktor anak ini tidak dapat sekolah dan mengaji. Faktor utama adalah tidak adanya keinginan anak untuk sekolah, hal ini barangkali karena rasa minder mengingat teman seusianya saat ini sudah kelas 3 dan 4 SD.

Dalam peringatan HUT RI ke -72 tahun ini ada yang menarik dengan sosok Widanto. Rumah anak ini berdiri diatas tanah Negara di pinggir jalan raya. Kebetulan sang ibu punya bendera merah putih, lalu Widanto meminta bendera tersebut dengan maksud dipasang di depan rumahnya. Hari itu anak ini membuat heboh warga setempat. Pasalnya dia memasang bendera merah putih dengan posisi terbalik, yakni putih merah.

Kisah Widanto ini seolah menyentil kita semua bahwa sesungguhnya dia juga ingin seperti teman-temannya, ingin juga merasakan menjadi anak yang normal dan dia juga Cinta Indonesia, meski dia buta aksara. Semoga suatu saat nanti Tuhan memberi jalan agar anak ini tergerak hatinya untuk menuntut ilmu dan bisa baca tulis serta bisa mengaji seperti teman-temannya. Dan semoga ada orang atau pihak yang peduli akan masa depan anak ini. Aamiin…

DESA BERSIH BUKANLAH MIMPI

Bukanlah perkara mudah untuk menghilangkan stigma desa Pinggirpapas yang selama ini dikenal sebagai desa kumuh menjadi desa bersih dan asri. Hal ini menjadi perhatian serius berbagai pihak, baik internal dan eksternal.  Tak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan buruk masyarakat  terkait sampah dan lingkungan bukanlah sesuatu yang mudah untuk merubahnya. 

Salah satu kebiasan buruk masyarakat  yang memberi kontribusi terhadap kekumuhan adalah “ternak liar” yakni kambing dan ayam yang dibiarkan berkeliaran di pemukiman warga. Hampir seluruh kambing di desa ini tidak memiliki kandang, jikapun ada hanya ditempati pada malam hari, sementara siang hari hewan ternak berkaki empat ini berkeliaran bebas hingga desa sebelah. Akibatnya hampir tidak ada satu halaman rumahpun di Pinggirpapas  yang terbebas dari kotoran kambing.

Sejauh ini saya melihat sepertinya belum ada langkah serius pihak terkait untuk merealisasikan mimpi,  mewujudkan desa Pinggirpapas yang bersih dan sehat. Sejujurnya saya akui memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk menyadarkan masyarakat  akan pentingnya hidup bersih dan sehat serta keluar dari lingkaran kekumuhan, namun bukan berarti kita tidak bisa merubahnya.

Hari ini saya merasa bahagia dan bangga, bagai menemukan setitik cahaya di tengah malam gelap gulita. Seorang warga desa Pinggirpapas telah memberi contoh yang baik dan semestinya ditiru oleh warga yang berternak kambing dan ayam serta diapresiasi dan diberi perhatian khusus oleh aparatur desa dan pegiat lingkungan hidup, ini dapat saya saksikan secara kasat mata. 

“Orang super” ini namanya Bapak Marsuto, tinggal di Dusun Dhalem RT.05 RW.06 Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Beliau memelihara kambing dan ditempatkan di sebuah tanah lapang berukuran 3x4 meter. Di tempat ini juga dibuatkan atap agar kambing tak kepanasan dan kehujanan. Tiap hari Bapak Marsuto memberi makan kambingnya dengan rumput dan daun yang beliau ambil dari pehohonan di sekitar desa.

Menurut saya orang ini luar biasa dan bisa kita dijadikan suri tauladan bagi peternak lainnya. Pak Marsuto beternak kambing tanpa memberikan dampak negatif untuk warga disekitarnya.  Jadi tidak ada yang mustahil jika kita punya keinginan yang kuat untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik. Desa Pinggirpapas yang bersih, sehat serta asri bukanlah sebuah mimpi semata, akan tetapi kita bisa mewujudkannya.

Salam Perubahan !

Jurus Sapu Bersih Pelanggan 900 VA

Kebijakan pemerintahan Jokowi mencabut subsidi listrik 900 VA begitu dirasakan oleh masyarakat yang kurang mampu. Pihak terkait beralasan bahwa subsidi banyak dinikmati oleh mereka kaum berpunya. Punya kulkas, punya AC, dan punya perabotan lainnya yang tergolong mewah.

Sebagai tindak lanjut kemudian pemerintah membentuk tim dan  menyarankan agar mereka pengguna listrik 900 VA yang kurang mampu  mengajukan surat pengaduan untuk mendapatkan kembali subsidi. Berdasarkan Permen ESDM 29/2016 ini, Rumah Tangga Miskin dan Tidak Mampu yang belum menerima subsidi tarif tenaga listrik dapat menyampaikan pengaduan melalui Desa/Kelurahan. Ada posko dan formulir pengaduan yang harus diisi.

Terkait pengurusan berkas untuk pengaduan ini  fakta dibawah tidak semudah yang pemerintah bayangkan. Saya ambil contoh adalah keluarga Pak Busani dan Ibu Samila yang tergolong miskin namun menggunakan listrik 900 VA. Keluarga miskin ini adalah warga desa Pinggirpapas kecamatan Kalianget kabupaten Sumenep yang beberapa tahun lalu mendaftar ke kantor PLN Sumenep. Niat mereka inginnya yang 450 VA, namun pihak PLN setempat beralasan stok meteran yang 450 VA lagi kosong yang ada stok meteran 900 VA. Maka dengan sangat terpaksa keluarga ini memasang listrik yang 900 VA.

Dengan menjadi pelanggan listrik 900 VA keluarga ini otomatis siap dengan konsekwensinya, yakni biaya beban dan tarif listrik lebih mahal. Bayangkan saja, keluarga miskin yang tinggal di rumah gedek sederhana ini harus mananggung beban tagihan listrik sebesar Rp.40.000,- hingga Rp.60.000,- setiap bulannya. Ini harga yang mereka bayar sebelum pencabutan subsidi listrik.

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik saat ini membuat beban hidup keluarga ini kian meningkat. Kini mereka harus membayar lebih mahal dari sebelumnya. Di rumah gedek ini tidak ada perabotan listrik apalagi AC, karena mereka tidak perlu listrik untuk menikmati AC sebab lubang di dinding rumah dan juga genteng yang tanpa langit-langit sudah menjadi 'AC Alami' bagi mereka. Terkait "kenaikan tarif listrik" atau yang istilah pemerintah "pencabutan subsidi" keluarga ini sudah menyerahkan berkas-berkas semisal KTP dan KK kepada perangkat desa untuk ditindaklanjuti,  namun hingga saat ini belum ada kejelasan. Pihak desa beralasan belum ada petunjuk teknis terkait pengajuan surat tidak mampu ini dan meminta keluarga Pak Busani untuk bersabar.

Yang ironis keluarga miskin ini tidak memiliki 'Kartu Sakti' KPS ( Kartu Perlindungan Sosial ) yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagai penanda Rumah Tangga Miskin. Ini membuktikan bahwa data terkait warga miskin masih belum valid dan perlu pembenahan.

Maka kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik tak pelak menjadi jurus sapu bersih tanpa pandang bulu.

Saya Indonesia, Saya Buta Aksara !



Namanya Widanto, terlahir dalam keluarga miskin di desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep, dan tinggal di sebuah rumah gedek nan sempit berukuran 3x4. Usianya saat ini sudah menginjak 10 tahun. Namun sangat disayangkan Widanto buta aksara, belum bisa baca tulis. Hal ini terjadi karena dia sejak dulu tak pernah mau disekolahkan ataupun mengaji meski berulangkali orang tua serta saudaranya memaksanya. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, yang merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan jaman tak berlaku bagi Widanto.

2 tahun lalu ayah Widanto menghadap Ilahi. Kini dia harus tinggal di rumah sempitnya bersama sang ibu yang hanya berpenghasilan 5 hingga 10 ribu rupiah perhari dari hasil berjualan sate tahu.

Tempat tinggal keluarga ini dapat dikatakan tidak layak huni. Betapa tidak, ruangan yang sangat sempit 4 x 3 dibagi menjadi dua yakni tempat tidur dan ruang depan. Sementara dapur berada disamping berdampingan dengan ruang  tak beratap yang berfungsi sebagai 'kamar mandi'.

Lubang-lubang di dinding rumah gedek itu menjadi 'AC alami' serta menjadi 'Jalan pintas' untuk nyamuk kala malam tiba. Rumah ini berdiri di pinggir jalan desa, bukan tanah mereka tetapi  diatas tanah negara. Selama bertahun-tahun keluarga Widanto tinggal dan menempati bangunan diatas tanah negara ini.

Semoga pemimpin negeri ini melihat dan mendengar bahwa masih ada dan mungkin banyak generasi yang masih buta aksara. Dan semoga, ada perhatian dan solusi terbaik dari berbagai pihak untuk para 'Widanto' . Aamiin...


Toleransi Bukan Hanya Basa Basi

Kekhawatiran berbagai pihak termasuk para elit bangsa belakangan ini terkait toleransi antar umat beragama ternyata tidak segenting yang dibayangkan. Hal ini dapat dibuktikan di lingkungan masyarakat bawah yang ternyata masih kuat rasa saling menghargai dan menghormati sesama anak bangsa meski berbeda keyakinan.

Seorang teman yang baru saja pulang dari pulau Dewata Bali seminggu yang lalu bercerita, dia tinggal cukup lama dan bergaul dengan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Menurut dia interaksi antar umat beragama disana sangat baik dan harmonis.

Selama di Bali dia sering berinteraksi dengan masyarakat lokal termasuk diantaranya sebuah keluarga Hindu, namanya Pak Wayan. Sungguh indah toleransi yang dirasakan teman saya selama di Bali. Saat tiba waktu sholat Pak Wayan seringkali mengingatkan teman saya untuk segera melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Yang menarik suatu hari keluarga Pak Wayan memasak daging babi. Saat waktunya makan Pak Wayan meminta istrinya untuk menyediakan masakan yang berbeda untuk teman saya demi menghormati keyakinan umat islam tentang diharamkannya babi untuk dikonsumsi.

"Buk, tolong masakkan dia telor, jangan lupa sendok dan piringnya ambilkan di lemari yang belum pernah kita gunakan," ujar Pak Wayan pada istrinya.

Mendengar hal ini teman saya tercengang, ia merasa hal ini merupakan perlakuan yang luar biasa ditengah maraknya isu gesekan antar umat beragama akhir-akhir ini.

Semoga toleransi seperti ini tetap ada di seluruh wilayah NKRI yang kita cintai.


Oh Jalan Desaku, Buruk Sekali Nasibmu


Siapa yang tidak tahu garam, semua orang mengenalnya dan Madura dikenal sebagai Pulau Garam, sementara pusat produksi terbesar garam itu sendiri berada di wilayah desa Pinggirpapas dan Karanganyar kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Bahkan disinilah terhampar luas lahan garam milik BUMN yaitu PT.GARAM (Persero).

Namun siapa yang menyangka akses jalan menuju desa penghasil garam ini kondisinya sangat memprihatinkan. Bertahun-tahun warga desa Pinggirpapas dan Karanganyar harus merasakan "sensasi" yang tidak menyenangkan setiap kali melewati jalan yang menghubungkan Pinggirpapas, Karanganyar dan Marengan. Jalan yang berlubang dan ditambah ceceran garam pada saat kemarau merupakan pemandangan yang biasa. Sementara pada saat musim hujan genangan air disana-sini, becek dan sungguh memprihatinkan.

Banyak sudah warga yang jadi korban akibat terjatuh dari kendaraannya, terluka akibat kecelakaan karena jalan rusak ini sudah sering terjadi dan puncaknya adalah meninggalnya salah satu warga desa Karanganyar. Dialah Samsul Hidayat, pemuda kelahiran Bondowoso ini harus meregang nyawa akibat terjatuh dari sepeda motor yang dikendarainya.

Berawal dari kondisi inilah kemarin saya mencoba melukiskannya melalui postingan di facebook dan kemudian direspon dengan berbagai komentar yang beragam. Tujuan saya hanya satu, yakni agar masalah ini menjadi "trending topic" dan kemudian ada respon dari berbagai pihak khususnya dinas terkait.

Saya tetap berharap semoga pihak-pihak terkait masih punya nurani untuk mengatasi masalah ini sebelum ada korban lain yang berjatuhan.

Salam dari Ujung Timur Madura
Sumenep, 23 Juli 2016


SDN Pinggirpapas 1-ku

Kondisi bangunan SDN Pinggirpapas 1 tahun 2016
SDN Pinggirpapas 1 adalah sebuah lembaga pendidikan negeri yang tertua di desa Pinggirpapas, namanya saja SDN Pinggirpapas 1 hehe... Terus terang sebagai salah satu alumni sekolah dasar ini saya bangga melihat kondisi bangunannya saat ini. Pembangunan yang begitu pesat dan sangat jauh berbeda ketika saya masih SD di era tahun 80an.

Dahulu siswa di sekolah dasar ini berasal dari 3 desa yaitu Pinggirpapas, desa Karanganyar dan desa Nambakor. Tapi sekarang siswanya berasal dari sekitar sekolah saja.Guru yang paling populer dari dulu hingga sekarang adalah Bpk. Kinar, selain beliau asli Pinggirpapas beliau juga tetap "istiqomah" mengajar di kelas awal, kalau tidak kelas 1 ya kelas 2. Beliau juga adalah satu-satunya guru PNS yang berasal dari Pinggirpapas.

Kepala sekolah sejak periode tahun 1980 hingga 2016 saat ini sudah berganti beberapa kali yaitu Bpk. Rais, Bpk.Abd. Hasyim, Bpk.Sunnan, Bapak Hasan dan yang sekarang adalah Bpk. Abd.Talib.

Sebagai salah seorang yang pernah mengenyam pendidikan di SDN Pinggirpapas ! saya berharap semoga dari SDN ini lahir generasi penerus bangsa yang cerdas dan berakhlaqul karimah serta bisa mengharumkan dan bisa memberikan sumbangsi untuk kemajuan SDN ini. Aamiin...

CURHATnya Mantan Preman

Tadi malam dalam sebuah acara duduk dan ngobrol santai dengan seseorang yang beberapa tahun lalu dikenal sebagai preman dan sempat mendekam dibalik jeruji. Jejak  itu masih bisa dilihat dari tatoo yang melekat di tubuhnya. Dua tahun sudah dia melepas masa lajangnya dan sudah dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya meninggal dunia saat baru dilahirkan, sedangkan anaknya yang kedua masih berusia belasan bulan. Dia cerita banyak hal mulai dari pekerjaannya saat ini sebagai abang becak hingga bercerita kehidupannya sehari-hari. Sebagai seorang ayah dia juga cerita tentang perasaan hatinya dan kecemasannya ketika anaknya sakit  Saat asyik ngobrol tiba-tiba dia bertanya dengan nada serius.

“Selama ini saya dikenal sebagai orang yang gak benar, dan saya sangat menyadari akan hal itu. Saya sangat khawatir jangan-jangan nanti anak-anak saya akan melakukan perbuatan seperti yang saya lakukan. Menurut kamu bagaimana?,” tanya dia sambil menatap mata saya kemudian menunduk penuh rasa penyesalan.

Mendengar pertanyaan tersebut sayapun mencoba memberikan jawaban yang sekiranya bisa membuat dia semangat dan tetap optimis menjalani hidup.

"Jangan khawatir kawan, rahmat dan ampunan Allah begitu luas, yakinlah akan hal itu. Selama kita memohon ampun dan mendekatkan diri pada-Nya, pasti Allah akan memberikan yang terbaik".

Semoga Allah selalu memberi hidayah dan menjadikan kita serta keturunan kita termasuk golongan orang-orang sholeh. Aamiin...

Sumenep, 4 Februari 2016

Nama dan Sebutan yang Akan dan Sudah Punah di Bumi Garam

Waktu terus berjalan dan dunia semakin tua, seiring perkembangan zaman banyak hal yang berubah. Perubahan itu tidak hanya berupa perubahan fisik semata akan tetapi juga dalam berbagai hal termasuk komunikasi, sebutan serta nama orang.

Kali ini yang ingin saya tulis dan ceritakan adalah perubahan sebutan dan juga nama orang di bumi asal garam yaitu desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Dan hal ini menurut saya tidak hanya di tempat ini saja tetapi di tempat lain sepertinya tidak jauh berbeda.

Dari sisi penggunaan nama orang misalnya, sangat jauh berbeda era 70-80an dan era tahun 2000. Misalnya era tahun70an hingga 80an banyak nama-nama yang masih merupakan nama-nama lokal yang dipakai secara turun temurun dan sesuai moment kelahirannya, misalnya jika lahir dalam kondisi berkalungkan ari-ari diberi nama “Kalong” (kalung), jika lahir bulan maulid diberi nama “Molod”(maulid), serta nama-nama lokal di desa ini misalnya Masrawi, Sarbu, Dinarmi, Suhaena dll. Akan tetapi memasuki era tahun 90an hingga 2000 mulailah masuk nama-nama “import” yang berasal dari kalangan artis atau sinetron serta orang terkenal di masa itu hingga saat ini, misalnya “Fendy Pradana, Hengky Tornando, Tiara dll.”

Berikut sedikit contoh nama orang yang akan ditinggalkan dan tidak digunakan lagi oleh para orang tua yang akan punya anak dan melahirkan saat ini. Kalaupun ada mungkin nama ini adalah “edisi terakhir” karena dianggap sudah tidak update dan tidak keren. Nama-nama itu adalah :
-    Kalong
-    Molod
-    Musahwi
-    Masrawi
-    Sarbu
-    Jumak
-    Buwani
-    Busani
-    Asbe
-    Junawi
-    Sarimin
-    Sadibi
-    Emmo
-    Sahu
-    Dll.
Nama-nama itu mungkin akan digantikan oleh :
-    Andhika
-    Kevin
-    Febry
-    Steven
-    Jessica
-    Andre
-    Dll.

Sementara sebutan yang sudah dipastikan akan punah adalah :
-    Mamak (Ayah)
-    Mbok (Ibu)
-    Towa (Kakek atau Nenek)
-    Kae (Kakek)
-    Nyai (Nenek)
-    Mbuk (kakak perempuan)
-    dan beberapa sebutan lainnya
Sebutan itu mungkin dan sebagian sudah digantikan dengan sebutan :
-    Papa (Ayah)
-    Mama (Ibu)
-    Mbah ( Nenek atau Kakek)
-    Mbak (Kakak perempuan)
-    dan  beberapa sebutan lainnya

Namun apapun itu semoga tidak mengurangi makna dari nama atau sebutan dan semoga tidak menghilangkan rasa cinta dan hormat kita kepada keluarga dan juga lingkungan sekitar. Dan semoga kita bisa memilihkan nama yang baik sekaligus berfungsi sebagai do’a untuk anak-anak kita. Aamiin…

Catatan Orang Awam

Salam dari ujung timur Madura

Kisah Si Tua Rentah di Negeri Tercinta

Namanya Sarmi, perempuan rentah ini tinggal di sebuah dusun di Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Betapa sangat mengiris hati kisah ibu yang satu ini. Selama puluhan tahun beliau hidup seorang diri, sebelumnya dia punya seorang anak dan dua orang cucu. Anak  Ibu Sarmi bernama Maryam, saat masih kecil Maryam sudah ditinggal oleh sang ayah dan menjadi yatim.
Maryampun tumbuh menjadi seorang gadis cerdas dan cantik di desanya, saat di bangku sekolah dia sering dapat nilai tinggi, tak heran jika banyak lelaki yang tertarik akan kecantikannya. Saya tahu persis karena dia adalah teman sekolah saya saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Selepas menamatkan pendidikan di sekolah dasar gadis cantik ini tidak melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi. Selang beberapa waktu kemudian Maryam menikah dengan seorang lelaki yang masih satu kampung dan tinggal bersama ibunya yaitu Ibu Sarmi. Pasangan ini kemudian dikaruniahi dua orang anak laki-laki, mereka hidup seperti kebanyakan masyarakat lainnya.
Duka mulai datang tatkala Maryam jatuh sakit selama berbulan-bulan dan pada akhirnya Allah memanggilnya. Maryam tutup usia saat masih muda dan meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Setelah Maryam meninggal sang suami pulang ke rumah orang tuanya. Tinggallah saat itu Ibu Sarmi beserta dua orang cucunya yang masih kecil.
Duka belum berakhir, disaat ibu Sarmi masih terngiang-ngiang dan kehilangan Maryam tak berapa lama cucunya yang kedua juga mengikuti sang ibu menghadap Ilahi, tak sampai disitu beberapa tahun kemudian cucunya yang pertama juga turut serta meninggalkannya sendirian. Lengkap sudah derita ibu Sarmi, dia ditinggalkan orang-orang terkasih dalam hidupnya. Akhirnya kini selama bertahun-tahun perempuan tua ini hidup seorang diri. Dia sempat menjadi buruh garam sebelum akhirnya mengundurkan diri karena merasa tidak kuat lagi dengan pekerjaan di tengah teriknya sang matahari. Saat ini dia hanya makan dengan mengandalkan belas kasihan  orang-orang di sekitarnya.
Di usianya yang sudah senja beliu hidup sendirian di sebuah rumah yang jauh dari kesan layak. Tak ada langit-langit di rumah ini, dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu banyak terdapat lubang disana-sini dengan ditambal benda seadanya. Saya membayangkan ketika malam hari betapa sangat dingin rasanya angin malam dan saat hujan datang.
Di rumah kecil ini terdapat tiga ruangan yaitu ruangan depan, sebuah kamar kecil dan ruang dapur yang sangat sempit di bagian belakang. Di ruangan depan terdapat sebuah amben yang digunakan sebagai tempat tidur dan dua buah kurni kuno. Sementara di ruangan kamar terdapat sebuah lemari kuno nan kusam dan ranjang yang tidak ditempati, di ranjang ini terdapat beberapa bantal yang sudah dikemas dalam karung. Bantal-bantal ini dimasukkan kedalam karung karena khawatir dicabik-cabik tikus. Sedangkan dibagian belakang terdapat ruang yang sangat sempit sebagai dapur. Tak ada tabung elpiji di tempat ini, yang ada hanya tunggu perapian dari bongkahan batu  dan kayu bakar serta sebuah gentong air. Ruangan ini sangat kusam dan kehitaman terkena asap api setiap hari.  Saat saya memasuki dapur di rumah ini terlihat  seekor ayam meloncat keluar dari lubang yang terdapat di dinding, maklum saja lubang terdapat disana-sini. Untuk penerangan wanita tua ini mengandalkan belas kasihan tetangga sebelah yang rela menyumbang sebuah lampu untuk penerangan dan rela memberi air untuk kebutuhan sehari-hari.
Sungguh sangat menyentuh hati nasib perempuan tua ini, saat saya menemuinya air mata saya tak terbendung melihat sandal yang dipakainya sudah putus talinya tapi beliau tetap memakainya dan tali sandal tersebut diikat dengan tali kecil.
Ya Allah.. semoga beliau diberi ketabahan dan kelak ditempatkan di tempat terbaik 

Jum'at, 2 Oktober 2015
Catatan Rakyat Jelata

Tuhan, Kuatkanlah Kakakku

15 hari sudah kakakku tak merasakan udara bebas, kasur kecil di ruangan Dahlia RSUD. Dr.Soetomo Surabaya menjadi tempatnya berbaring. Sejak Senin 12 April 2015 lalu Kak Saed mulai menempati ruangan Dahlia dengan berbekal rujukan dari RSUD Moh. Anwar Sumenep setelah sebelumnya melakukan berbagai macam pemeriksaan medis dan pengobatan alternatif. Penyakit kanker rektum (begitu istilah medisnya) telah menggerogoti tubuhnya. Badannya yang memang kurus kini semakin terlihat mengecil.

Hari-harinya dijalani dengan tangisan dan linangan air mata, maklum beberapa hari lagi operasi pengangkatan penyakit dan kolostomi menetap (pembuatan hubungan antara dinding perut dengan kolon) akan dilakukan. Pasti dia mulai membayangkan bagaimana harus menjalani hari-harinya dengan kesedihan dan kerepotan akibat harus hidup dengan plastik yang disebut kantung kolostomi.

Masih teringat jelas saat saya ikut mengantar untuk melakukan pengobatan alternatif di Klinik Bafar daerah Surabaya utara. Disitu dijelaskan bahwa penyakit kakakku sudah di derita 10 tahun yang lalu. Memang beberapa tahun terakhir kak Saed beberapa kali buang air besar disertai darah. Kakakku mengira bahwa itu gejala biasa karena panas dalam, maklum dia orang awam dan pekerjaannya adalah sebagai abang becak. Baru pada bulan Oktober tahun lalu dia merasakan kesakitan.

Sebelumnya kak Saed juga telah melakukan pemeriksaan di kota kami Sumenep dan sempat mau dioperasi di RSUD setempat.karena mengira itu adalah penyakit wasir  Namun dokter Husnul Goib yang menangani penyakitnya memanggil saya sesaat sebelum tindakan akan dilakukan."Kami tidak bisa melakukan operasi saat ini karena kami curiga ada penyakit lain yang di derita kakak anda," begitu kata dokter Husnul Goib.
"Lalu bagaimana dok ?," tanyaku dengan nada cemas. "Kami akan mengambil sedikit, mungkin hanya beberapa milimeter dan akan kami kirim untuk di lab di Surabaya untuk memastikan penyakitnya," itulah jawaban dokter Husnul Goib. Dan alhasil setelah menunggu selama seminggu hasil lab dari Surabaya keluar dan sungguh hasilnya sangat membuat keluarga kami terpukul, yah... kanker...!!

Tangis keluargapun pecah saat mengetahui hasil lab tersebut, terbayang sudah bagaimana penderitaan yang harus dialami oleh kak Saed dan keluarga kami. Anaknya yang masih duduk di kelas 2 MAN Sumenep dan adiknya yang masih duduk di kelas 1 SD pun tak kuasa menahan tangis.

Kini.. kami berharap ada keajaiban, dan jikapun harus terjadi kemungkinan terburuk kuatkanlah kakakku Ya Allah...

Powered by Blogger.