Kebahagiaan yang Membutuhkan Pengorbanan

Pasangan suami istri itu bahagia karena keduanya ternyata lulus dalam seleksi sebagai pegawai negeri beberapa waktu lalu. Mereka tak menyangka keduanya akan lulus setelah beberapa tahun mengabdi menjadi guru sukwan di sekolah yang jaraknya puluhan kilometer dari kediamannya. Pasangan guru muda itu berbunga-bunga karena keinginannya menjadi pegawai negeri tercapai.

Namun rupanya kebahagiaan itu tidak bisa mereka rasakan sepenuhnya, pasalnya pasangan yang baru menikah empat tahun lalu ini harus terpisah selama beberapa tahun kedepan. Ini karena penempatan mereka sebagai guru lokasinya berbeda. Mereka akan ditempatkan di wilayah kepulauan terpencil di Kabupaten Sumenep dan tidak dalam satu tempat melainkan di dua pulau yang berbeda dan jarak yang cukup jauh. Kesedihan ini semakin bertambah mengingat mereka mempunyai buah hati yang baru berumur 3 tahun.

Menurut sang suami perpisahan ini akan dijalani selama lima tahun atau bahkan lebih. Pasangan guru muda ini menyadari betul konsekuensi seorang pegawai negeri yang harus siap ditempatkan dimanapun bahkan di wilayah terpencil sekalipun. Mereka tak pernah membayangkan akan terpisah dan menjalani hari-hari penuh kesedihan beberapa waktu kedepan. Mereka berharap semoga ada keajaiban yang menyatukan mereka.

Pesantren dan Tantangannya


Dewasa ini moral anak bangsa semakin memprihatinkan, tidak hanya di kalangan siswa SMA dan perguruan tinggi namun bahkan dalam usia yang masih dini yakni SD dan SMP. Dengan semakin canggihnya teknologi di era digital saat ini semakin mempermudah anak untuk mengakses dan mengkonsumsi berbagai hal yang kurang baik. Tak heran kenakalan dan kebrutalan remaja saat ini membuat miris berbagai pihak khususnya orang tua. Tawuran, seks bebas, obat-obatan terlarang seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebagian remaja saat ini. Dari data yang dilansir oleh Komisi Perlindungan Anak beberapa tahun lalu misalnya akan membuat kita tercengang, data tersebut mengungkap perilaku seksual remaja SMP dan SMA yaitu 93,7%  Pernah ciuman, Petting, oral sek, 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMA pernah aborsi, 97% pernah nonton film porno.
Menyikapi berbagai persoalan tersebut patut kiranya kita semua berfikir untuk semakin memperkuat benteng pertahanan putra-putri kita. Salah satunya dengan memperkuat keimanan dan ketaqwaan agar anak-anak ini bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk masa depan mereka. Pendidikan agama amat sangat penting ditanamkan sejak dini. Tentu ini tidak hanya menjadi tugas pihak sekolah, apalagi pelajaran agama di sekolah umum terasa sangat minim, hanya beberapa jam dalam seminggu.
Semakin derasnya pengaruh negatif saat ini membuat sebagian orang tua berfikir dan memilih pendidikan pesantren sebagai alternatif untuk menjaga moral remaja saat ini. Memang tidak ada jaminan bahwa lulusan pesantren akan menjadi manusia sholeh dan sempurna, namun barangkali ini pilihan yang paling tepat dari dulu hingga sekarang dan bahkan sampai nanti. Pindidikan pesantren tak dapat diragukan lagi dalam mengajarkan secara detail semua hal yang berkaitan dengan agama. Saat ini ada pesantren yang fokus dalam bidang agama namun ada juga yang menggabungkan antara pendidikan agama dan pendidikan formal. Pendidikan pesantren adalah mendidikan yang secara maksimal membentuk karakter generasi yang islami.
Problemnya dewasa ini adalah meski tidak diragukan lagi peranan pesantren dalam menjaga moral anak bangsa, namun masih banyak orang yang ragu kualitas lulusan pesantren dan enggan untuk menitipkan buah hatinya. Keengganan tersebut tak lepas dari banyaknya masyarakat sekarang yang menginginkan anaknya kelak hidupnya sejahreta dari sisi ekonomi. Tak heran jika mereka memilihkan anaknya sekolah favorit yang mereka nilai menjanjikan dan ketika lulus langsung bisa bekerja dengan bekal ijazah dari sekolah dan perguruan tinggi ternama.
Tantangan pesantren juga  terasa berat dengan adanya isu-isu miring yang diarahkan ke  pesantren, baik yang berasal dari eksternal maupun dari internal pesantren sendiri. Dari luar masyarakat yang tidak menyukai pendidikan pesantren seringkali menyudutkan pesantren dengan isu misalnya tidak ada jaminan kalau lulusan pesantren itu menjadi pribadi yang alim dan ahli ibadah. Memang ada satu dua kasus semisal ada anak lulusan pesantren yang kemudian berbaur dalam masyarakat dan perilakunya brutal dan kelewatan. Hal inilah yang kemudian dijadikan sample oleh orang-orang yang tidak menyukai pesantren.
“Ah.., lulusan pesantren itu akhlaqnya lebih parah dari lulusan sekolah umum, lihat saja itu si anu, dia lulusan pesantren tapi kelakuannya seperti itu..!” begitulah kata-kata yang sering mereka lontarkan untuk menggoyahkan semangat atau keinginan orang yang ingin menitipkan anaknya di pesantren. Mereka yang tidak menyukai pesantren lupa atau mungkin menutup mata bahwa jumlah kenakalan anak yang menempuh pendidikan diluar pendidikan pesantren jumlahnya jauh lebih besar. Sebagai contoh berapa ratus kasus siswa antar sekolah yang terlibat tawuran, mengkonsumsi obat terlarang, seks bebas dan kenakalan remaja lainnya karena kurangnya kontrol dari berbagai pihak.  Hal ini nyaris atau bahkan tidak akan dijumpai di kalangan pesantren. Jika kita mau jujur dan objektif tentu kita bisa membedakan dan menilai bahwa lulusan pesantren jelas punya nilai lebih khususnya dibidang agama.
Faktor lain yang menyebabkan turunnya minat untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren adalah adanya sejumlah alumni yang pernah mengenyam pendidikan pesantren juga enggan menitipkan anaknya. Mereka menilai pendidikan dan aturan di pesantren terlalu ketat dan merampas kebebasan. Mereka merasa pesantren adalah penjara yang membatasi ruang gerak mereka. Tak heran jika alumni yang semacam ini kemudian memilih pendidikan formal sebagai tempat anaknya menuntut ilmu.Tak cukup itu saja bahkan mereka malah mempengaruhi orang lain. “Jangan menitipkan anak di pesantren, kasihan mereka tiap hari, siang malam makan kitab.” Ungkapan itu pernah diucapkan oleh salah seorang  alumni di pulau Madura. “Anakku tak akan kutitipkan ke pesantren, cukup aku saja yang merasakan pahit getirnya pesantren,” itu juga kalimat yang sempat terlontar.
Para alumni yang enggan menitipkan putranya di pesantren barangkali lupa bahwa pesantren itu adalah lembaga yang memang tempat anak digembleng dan dilatih. Pesantren tak ubahnya pendidikan dalam kemiliteran. Karena pesantren tempat mencetak manusia yang diharapkan tangguh, maka tidaklah berlebihan jika pesantren jauh dari kesan mewah. Kita tentu tahu dan mendengar jika seseorang yang ingin menjadi anggota TNI dan POLRI harus menjalani beberapa tahapan dan menjalani latihan yang sangat berat, misalnya masuk gorong-gorong, makan seadanya di dalam hutan, tidur di hutan dengan dikerubuti nyamuk dan berbagai macam “siksaan” lainnya. Mereka tidur di hutan bukan karena tidak punya rumah, mereka kekurangan makanan bukan karena mereka tak punya beras, tetapi semua semata-mata untuk melatih mental mereka agar ketika mereka lulus menjadi pribadi yang tangguh dan siap dalam segala macam kondisi.
Begitulah perumpamaan kehidupan pesantren. Jika kita ingin memanjakan anak tentu tidak di pesantren tempatnya. Pesantren memang dirancang untuk melatih anak agar senantiasa menjadi pribadi yang sederhana dan mandiri. Jika di pesantren disediakan makanan enak, tidur di kasur empuk, nonton tv dan main game itu bukan pesantren tetapi hotel atau tempat wisata dan tempat bermain.
Dari sinilah dibutuhkan pemikiran yang jernih dan penuh keikhlasan bagi mereka yang menginginkan anak yang sholeh dan sholehah. Jika kita bertanya dimanakah dan bagaimana cara mencetak generasi yang sholeh dan sholehah.?? Tentu pesantrenlah jawabannya. Sering kita dengar dalam sambutan pernikahan selalu mendoakan semoga mempelai berdua menjadi keluarga yang sakinah, dikaruniahi anak yang sholeh dan sholehah. Bagaimana bisa kita mengharap anak yang sholeh dan sholehah jika kita tidak menuntun mereka kearah sana. Analoginya adalah “Bagaimana bisa anak kita sampai ke Semarang kalau bus yang kita pilih arahnya menuju Banyuwangi,” Bagaimana kita bisa berharap anak-anak kita sholeh dan sholehah jika kita tidak memilihkan pendidikan yang memang arahnya kesana.
Dari sisi kesejahteraan ekonomi barangkali masih ada anggapan pesantren kurang menjanjikan, namun bukan berarti tidak bisa. Berapa banyak tokoh yang lulusan pesantren mampu berkiprah dalam persaingan hidup. Banyak diantara mereka yang menjadi pengusaha dan pejabat bahkan sampai presiden. Jadi mulailah berfikir positif tentang pesantren dan yakinlah bahwa rezeki itu kuasa Allah. Ada sebagian orang tua yang menitipkan anaknya terkadang tidak mencari ridha Allah melainkan mencari aman. Suatu contoh orang tua yang punya anak gadis ditanya, “Anak anda kenapa dititipkan di pesantren ?”, orang tua tersebut menjawab, “Ya, karena anak saya perempuan dan jika saya sekolahkan di sekolah umum saya khawatir terjadi sesuatu dengan dia,”. Jawaban ini tentu tidak salah, namun alangkah indahnya jika jawabannya adalah semata-mata niat menitipkan anak hanya karena Allah dan bukan karena ingin menyelamatkan anak dari bahaya pergaulan bebas. Jika niat itu tulus dan ikhlas tentu orang tua tidak akan peduli anaknya laki-laki atau perempuan tetap di titipkan di pesantren karena Allah.
Lembaga pesantren sendiri mungkin sudah saatnya berbenah dan beradaptasi dengan zamannya. Tentu perubahan tersebut tetap dalam nilai-nilai yang tidak melanggar aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Barangkali ada aturan atau sistem pesantren yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Santri zaman dahulu tidak sama dengan santri sekarang, dan permasalahanpun semakin kompleks. Misalnya  kemudian di pesantren juga mengadakan pelatihan-pelatihan yang diharapkan setelah santri lulus mereka sudah siap bersaing dengan lulusan pendidikan formal lainnya.Semoga kedepan pesantren menjadi salah satu lembaga yang menjadi pilihan nomor satu dan terpercaya. Terlepas sekolah umum atau pesantren pilihan kita, semoga kita tetap bisa membimbing anak-anak kita.
Lagi-lagi semua tergantung orang tua masing-masing, mau diarahkan kemana anak-anak kita.

Catatan orang awam
25 Nopember 2014

Proses Pembuatan SPM untuk Perawatan di Rumah Sakit

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang proses pembuatan SPM (Surat Pernyataan Miskin) yang digunakan oleh warga kurang mampu di Rumah Sakit. Tentu tiap daerah berbeda, yang ingin saya bagi adalah pembuatan SPM di Kabupaten Sumenep karena kebetulan kemarin mengurus SPM untuk salah seorang kerabat .
Prosesnya adalah sebagai berikut :
  1. Siapkan 1 lembar map dan juga 1 lembar materai yang Rp.6.000,- (Untuk bayi mintalah Surat Keterangan Kelahiran dari Bidan yang menangani)
  2. Meminta kepada Kepala Desa untuk dibuatkan SPM,
  3. Tempelkan materai di SPM lalu ditanda tangani atau cap jempol oleh yang bersangkutan dalam hal ini adalah orang yang sedang sakit.
  4. Jika orang yang sakit sudah lebih dulu masuk ke Rumah sakit mintalah Surat Perawatan dari Rumah Sakit.Surat ini dibutuhkan untuk minta rujukan ke Puskesmas Kecamatan
  5. Setelah SPM ditempeli materai dan tanda tangan foto copylah 1 lembar.
  6. Bawalah SPM yang asli dan foto copynya ke kantor Kecamatan setempat untuk minta tanda tangan Camat.
  7. Setelah ditanda tangani oleh Camat SPM selanjutnya di fotocopy lagi sebanyak 2 lembar, fotocopy KTP sebanyak 2 lembar, fotocopy KK 2 lembar, dan Surat Perawatan dari Rumah Sakit bagi yang sudah lebih dulu masuk ke Rumah Sakit. Semua berkas ini diserahkan kepada petugas di Puskesmas Kecamatan untuk mendapatkan Surat Rujukan.
  8. Selanjutnya berkas yang dari Puskesmas Kecamatan dibawa ke Dinas Kesehatan bagian pelayanan SPM. Untuk wilayah Sumenep di sebelah timur Taman Bunga dan berada di bagian belakang. Di tempat ini kita butuh orang yang masuk dalam daftar KK. Jadi bagi anda yang mengurus SPM tapi tidak masuk dalam KK wajib membawa keluarga orang yang sakit yang memang satu KK. Disini kelengkapan berkas yang dibutuhkan adalah SPM asli, Bagi bayi sertakan Surat Keterangan Kelahiran, KTP asli dan fotocopynya, KK dan fotocopynya.
  9. Setelah selesai fotocopy semua berkas sesuai dengan urutannya dan di steples, banyaknya disesuaikan dengan kebutuhan misalnya masing-masing 5 lembar. Serahkan satu bendel fotocopy (yang sudah di steples) ke pihak Dinas Kesehatan bagian SPM dan sisanya digunakan untuk keperluan di rumah sakit.
Sekian apa yang bisa saya bagikan semoga bermanfaat dan yang terpenting semoga kita selalu diberi kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Salam dari ujung timur Madura

Powered by Blogger.