Jurus Sapu Bersih Pelanggan 900 VA

Kebijakan pemerintahan Jokowi mencabut subsidi listrik 900 VA begitu dirasakan oleh masyarakat yang kurang mampu. Pihak terkait beralasan bahwa subsidi banyak dinikmati oleh mereka kaum berpunya. Punya kulkas, punya AC, dan punya perabotan lainnya yang tergolong mewah.

Sebagai tindak lanjut kemudian pemerintah membentuk tim dan  menyarankan agar mereka pengguna listrik 900 VA yang kurang mampu  mengajukan surat pengaduan untuk mendapatkan kembali subsidi. Berdasarkan Permen ESDM 29/2016 ini, Rumah Tangga Miskin dan Tidak Mampu yang belum menerima subsidi tarif tenaga listrik dapat menyampaikan pengaduan melalui Desa/Kelurahan. Ada posko dan formulir pengaduan yang harus diisi.

Terkait pengurusan berkas untuk pengaduan ini  fakta dibawah tidak semudah yang pemerintah bayangkan. Saya ambil contoh adalah keluarga Pak Busani dan Ibu Samila yang tergolong miskin namun menggunakan listrik 900 VA. Keluarga miskin ini adalah warga desa Pinggirpapas kecamatan Kalianget kabupaten Sumenep yang beberapa tahun lalu mendaftar ke kantor PLN Sumenep. Niat mereka inginnya yang 450 VA, namun pihak PLN setempat beralasan stok meteran yang 450 VA lagi kosong yang ada stok meteran 900 VA. Maka dengan sangat terpaksa keluarga ini memasang listrik yang 900 VA.

Dengan menjadi pelanggan listrik 900 VA keluarga ini otomatis siap dengan konsekwensinya, yakni biaya beban dan tarif listrik lebih mahal. Bayangkan saja, keluarga miskin yang tinggal di rumah gedek sederhana ini harus mananggung beban tagihan listrik sebesar Rp.40.000,- hingga Rp.60.000,- setiap bulannya. Ini harga yang mereka bayar sebelum pencabutan subsidi listrik.

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik saat ini membuat beban hidup keluarga ini kian meningkat. Kini mereka harus membayar lebih mahal dari sebelumnya. Di rumah gedek ini tidak ada perabotan listrik apalagi AC, karena mereka tidak perlu listrik untuk menikmati AC sebab lubang di dinding rumah dan juga genteng yang tanpa langit-langit sudah menjadi 'AC Alami' bagi mereka. Terkait "kenaikan tarif listrik" atau yang istilah pemerintah "pencabutan subsidi" keluarga ini sudah menyerahkan berkas-berkas semisal KTP dan KK kepada perangkat desa untuk ditindaklanjuti,  namun hingga saat ini belum ada kejelasan. Pihak desa beralasan belum ada petunjuk teknis terkait pengajuan surat tidak mampu ini dan meminta keluarga Pak Busani untuk bersabar.

Yang ironis keluarga miskin ini tidak memiliki 'Kartu Sakti' KPS ( Kartu Perlindungan Sosial ) yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagai penanda Rumah Tangga Miskin. Ini membuktikan bahwa data terkait warga miskin masih belum valid dan perlu pembenahan.

Maka kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik tak pelak menjadi jurus sapu bersih tanpa pandang bulu.

Saya Indonesia, Saya Buta Aksara !



Namanya Widanto, terlahir dalam keluarga miskin di desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep, dan tinggal di sebuah rumah gedek nan sempit berukuran 3x4. Usianya saat ini sudah menginjak 10 tahun. Namun sangat disayangkan Widanto buta aksara, belum bisa baca tulis. Hal ini terjadi karena dia sejak dulu tak pernah mau disekolahkan ataupun mengaji meski berulangkali orang tua serta saudaranya memaksanya. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, yang merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan jaman tak berlaku bagi Widanto.

2 tahun lalu ayah Widanto menghadap Ilahi. Kini dia harus tinggal di rumah sempitnya bersama sang ibu yang hanya berpenghasilan 5 hingga 10 ribu rupiah perhari dari hasil berjualan sate tahu.

Tempat tinggal keluarga ini dapat dikatakan tidak layak huni. Betapa tidak, ruangan yang sangat sempit 4 x 3 dibagi menjadi dua yakni tempat tidur dan ruang depan. Sementara dapur berada disamping berdampingan dengan ruang  tak beratap yang berfungsi sebagai 'kamar mandi'.

Lubang-lubang di dinding rumah gedek itu menjadi 'AC alami' serta menjadi 'Jalan pintas' untuk nyamuk kala malam tiba. Rumah ini berdiri di pinggir jalan desa, bukan tanah mereka tetapi  diatas tanah negara. Selama bertahun-tahun keluarga Widanto tinggal dan menempati bangunan diatas tanah negara ini.

Semoga pemimpin negeri ini melihat dan mendengar bahwa masih ada dan mungkin banyak generasi yang masih buta aksara. Dan semoga, ada perhatian dan solusi terbaik dari berbagai pihak untuk para 'Widanto' . Aamiin...


Toleransi Bukan Hanya Basa Basi

Kekhawatiran berbagai pihak termasuk para elit bangsa belakangan ini terkait toleransi antar umat beragama ternyata tidak segenting yang dibayangkan. Hal ini dapat dibuktikan di lingkungan masyarakat bawah yang ternyata masih kuat rasa saling menghargai dan menghormati sesama anak bangsa meski berbeda keyakinan.

Seorang teman yang baru saja pulang dari pulau Dewata Bali seminggu yang lalu bercerita, dia tinggal cukup lama dan bergaul dengan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Menurut dia interaksi antar umat beragama disana sangat baik dan harmonis.

Selama di Bali dia sering berinteraksi dengan masyarakat lokal termasuk diantaranya sebuah keluarga Hindu, namanya Pak Wayan. Sungguh indah toleransi yang dirasakan teman saya selama di Bali. Saat tiba waktu sholat Pak Wayan seringkali mengingatkan teman saya untuk segera melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Yang menarik suatu hari keluarga Pak Wayan memasak daging babi. Saat waktunya makan Pak Wayan meminta istrinya untuk menyediakan masakan yang berbeda untuk teman saya demi menghormati keyakinan umat islam tentang diharamkannya babi untuk dikonsumsi.

"Buk, tolong masakkan dia telor, jangan lupa sendok dan piringnya ambilkan di lemari yang belum pernah kita gunakan," ujar Pak Wayan pada istrinya.

Mendengar hal ini teman saya tercengang, ia merasa hal ini merupakan perlakuan yang luar biasa ditengah maraknya isu gesekan antar umat beragama akhir-akhir ini.

Semoga toleransi seperti ini tetap ada di seluruh wilayah NKRI yang kita cintai.


Powered by Blogger.