IBU-IBU PENGEMAS GARAM TAMBAK, SIAPA YANG PEDULI PADAMU?

Tahun 2017 merupakan tahun paling bersejarah dan akan dikenang oleh para petani garam. Betapa tidak, tahun ini harga garam merupakan yang tertinggi dalam sejarah garam rakyat. Harga garam tahun ini menembus angka hingga Rp.3.800.000,-/ ton, harga yang sangat fantastis, padahal sebelumnya harga garam hanya dikisaran 700 - 800 ribuan.Meski harga ini tidak bertahan lama namun telah menorehkan sejarah indah bagi para petani.
Beberapa hari ini para petani mulai merasa gelisah. Pasalnya harga garam terus melorot seiring makin lancarnya produksi garam. Harga garam saat ini dikisaran 1,5 juta / ton. Para aktivis di lingkaran petani garam mulai bereaksi, mulai dari sekedar berdiskusi di sosmed hingga ke ruangan anggota Dewan untuk memperjuangkan agar harga garam tidak terus terjun bebas. Saya rasa ini sesuatu yang wajar agar harga tidak jauh terpuruk.
Sebagai 'mantan' petani garam ( sekarang jadi pingin lagi hehe.. ) saya tahu persis kehidupan dan kesejahteraan para petani garam. Menurut generasi terdahulu dan seolah menjadi rumus adalah harga garam 1 ton = 1 gram emas. Jika mengacu pada rumus tersebut dengan harga emas saat ini maka harga garam idealnya adalah 500 hingga 700 ribu/ ton.
Nah, sekarang kita bicara kesejahteraan secara umum di wilayah desa dengan warga yang sebagian berprofesi sebagai petani garam. Meski tidak bisa disebut kaya akan tetapi kehidupan petani garam jauh lebih sejahtera dibanding dengan warga yang tidak punya pekerjaan tetap dan serabutan. Apalagi jika kita mengacu pada rumus harga diatas dan didukung dengan kondisi musim kemarau yang normal.
Dibalik hingar-bingar harga garam yang menggiurkan itu ada sekelompok orang di lingkaran petani garam yang hidupnya jauh dari kata sejahtera. Mereka adalah ibu- ibu yang mengemas garam rakyat, memasukkan garam ke dalam karung lalu menjahitnya yang dalam bahasa lokal dikenal sebagai "Tokang ngesse'e". Mereka yang berangkat dini hari dan kadang pulang larut malam. Bahkan untuk kondisi tertentu siap bekerja kapan saja baik siang maupun malam.
Untuk mengemas garam satu ton ( biasanya 20 karung ) mereka mendapat upah 15 .000 hingga 17.000/ ton. Dengan nominal rupiah tersebut mereka harus membagi hasil tersebut dengan beberapa orang yang terlibat dalam pengemasan garam tersebut.
Lalu, siapa yang akan memperjuangjan nasib mereka.??

Saya Buta Aksara, Saya Cinta Indonesia


Widanto, usianya menginjak 11 tahun dan anak ini adalah anak yang buta aksara serta Yatim pula, sejak dua tahun lalu ditinggal ayah tercintanya. Widanto terlahir dalam keluarga miskin di desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Karena beberapa faktor anak ini tidak dapat sekolah dan mengaji. Faktor utama adalah tidak adanya keinginan anak untuk sekolah, hal ini barangkali karena rasa minder mengingat teman seusianya saat ini sudah kelas 3 dan 4 SD.

Dalam peringatan HUT RI ke -72 tahun ini ada yang menarik dengan sosok Widanto. Rumah anak ini berdiri diatas tanah Negara di pinggir jalan raya. Kebetulan sang ibu punya bendera merah putih, lalu Widanto meminta bendera tersebut dengan maksud dipasang di depan rumahnya. Hari itu anak ini membuat heboh warga setempat. Pasalnya dia memasang bendera merah putih dengan posisi terbalik, yakni putih merah.

Kisah Widanto ini seolah menyentil kita semua bahwa sesungguhnya dia juga ingin seperti teman-temannya, ingin juga merasakan menjadi anak yang normal dan dia juga Cinta Indonesia, meski dia buta aksara. Semoga suatu saat nanti Tuhan memberi jalan agar anak ini tergerak hatinya untuk menuntut ilmu dan bisa baca tulis serta bisa mengaji seperti teman-temannya. Dan semoga ada orang atau pihak yang peduli akan masa depan anak ini. Aamiin…

Cara Menampilkan Serangga di Layar Android





Saat ini yang lagi hangat dalam pembicaraan adalah munculnya serangga di layar android. Banyak orang yang iseng dan melakukan 'pembodohan' hehe.., dengan menyuruh mengetik #kecoa, *semut, ular.on.com dan lain-lain di kolom komentar sosmed untuk menampilkan hewan yang dimaksud. Ada beberapa orang yang berhasil ‘menghipnotis’ teman-temannya, sehingga kolom komentarnya penuh dengan nama-nama serangga haha…



Oke, kali ini saya ingin berbagi informasi bahwa sesungguhnya itu semua menggunakn aplikasi untuk menampilkan berbagai jenis serangga di layar androidnya. Aplikasi itu diantaranya adalah Lelucon Kecoak di Ponsel, Semut di Layar – lelucon lucu, Ular di Layar – Lelucon Desis, dan lain-lain.Nah, sekarang tinggal kalian pasang saja aplikasi-aplikasi tersebut jika ingin menampilkan serangga yang dimaksud.

Sekian, semoga bermanfaat

Salam dari ujung timur Madura

DESA BERSIH BUKANLAH MIMPI

Bukanlah perkara mudah untuk menghilangkan stigma desa Pinggirpapas yang selama ini dikenal sebagai desa kumuh menjadi desa bersih dan asri. Hal ini menjadi perhatian serius berbagai pihak, baik internal dan eksternal.  Tak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan buruk masyarakat  terkait sampah dan lingkungan bukanlah sesuatu yang mudah untuk merubahnya. 

Salah satu kebiasan buruk masyarakat  yang memberi kontribusi terhadap kekumuhan adalah “ternak liar” yakni kambing dan ayam yang dibiarkan berkeliaran di pemukiman warga. Hampir seluruh kambing di desa ini tidak memiliki kandang, jikapun ada hanya ditempati pada malam hari, sementara siang hari hewan ternak berkaki empat ini berkeliaran bebas hingga desa sebelah. Akibatnya hampir tidak ada satu halaman rumahpun di Pinggirpapas  yang terbebas dari kotoran kambing.

Sejauh ini saya melihat sepertinya belum ada langkah serius pihak terkait untuk merealisasikan mimpi,  mewujudkan desa Pinggirpapas yang bersih dan sehat. Sejujurnya saya akui memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk menyadarkan masyarakat  akan pentingnya hidup bersih dan sehat serta keluar dari lingkaran kekumuhan, namun bukan berarti kita tidak bisa merubahnya.

Hari ini saya merasa bahagia dan bangga, bagai menemukan setitik cahaya di tengah malam gelap gulita. Seorang warga desa Pinggirpapas telah memberi contoh yang baik dan semestinya ditiru oleh warga yang berternak kambing dan ayam serta diapresiasi dan diberi perhatian khusus oleh aparatur desa dan pegiat lingkungan hidup, ini dapat saya saksikan secara kasat mata. 

“Orang super” ini namanya Bapak Marsuto, tinggal di Dusun Dhalem RT.05 RW.06 Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Beliau memelihara kambing dan ditempatkan di sebuah tanah lapang berukuran 3x4 meter. Di tempat ini juga dibuatkan atap agar kambing tak kepanasan dan kehujanan. Tiap hari Bapak Marsuto memberi makan kambingnya dengan rumput dan daun yang beliau ambil dari pehohonan di sekitar desa.

Menurut saya orang ini luar biasa dan bisa kita dijadikan suri tauladan bagi peternak lainnya. Pak Marsuto beternak kambing tanpa memberikan dampak negatif untuk warga disekitarnya.  Jadi tidak ada yang mustahil jika kita punya keinginan yang kuat untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik. Desa Pinggirpapas yang bersih, sehat serta asri bukanlah sebuah mimpi semata, akan tetapi kita bisa mewujudkannya.

Salam Perubahan !

Jurus Sapu Bersih Pelanggan 900 VA

Kebijakan pemerintahan Jokowi mencabut subsidi listrik 900 VA begitu dirasakan oleh masyarakat yang kurang mampu. Pihak terkait beralasan bahwa subsidi banyak dinikmati oleh mereka kaum berpunya. Punya kulkas, punya AC, dan punya perabotan lainnya yang tergolong mewah.

Sebagai tindak lanjut kemudian pemerintah membentuk tim dan  menyarankan agar mereka pengguna listrik 900 VA yang kurang mampu  mengajukan surat pengaduan untuk mendapatkan kembali subsidi. Berdasarkan Permen ESDM 29/2016 ini, Rumah Tangga Miskin dan Tidak Mampu yang belum menerima subsidi tarif tenaga listrik dapat menyampaikan pengaduan melalui Desa/Kelurahan. Ada posko dan formulir pengaduan yang harus diisi.

Terkait pengurusan berkas untuk pengaduan ini  fakta dibawah tidak semudah yang pemerintah bayangkan. Saya ambil contoh adalah keluarga Pak Busani dan Ibu Samila yang tergolong miskin namun menggunakan listrik 900 VA. Keluarga miskin ini adalah warga desa Pinggirpapas kecamatan Kalianget kabupaten Sumenep yang beberapa tahun lalu mendaftar ke kantor PLN Sumenep. Niat mereka inginnya yang 450 VA, namun pihak PLN setempat beralasan stok meteran yang 450 VA lagi kosong yang ada stok meteran 900 VA. Maka dengan sangat terpaksa keluarga ini memasang listrik yang 900 VA.

Dengan menjadi pelanggan listrik 900 VA keluarga ini otomatis siap dengan konsekwensinya, yakni biaya beban dan tarif listrik lebih mahal. Bayangkan saja, keluarga miskin yang tinggal di rumah gedek sederhana ini harus mananggung beban tagihan listrik sebesar Rp.40.000,- hingga Rp.60.000,- setiap bulannya. Ini harga yang mereka bayar sebelum pencabutan subsidi listrik.

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik saat ini membuat beban hidup keluarga ini kian meningkat. Kini mereka harus membayar lebih mahal dari sebelumnya. Di rumah gedek ini tidak ada perabotan listrik apalagi AC, karena mereka tidak perlu listrik untuk menikmati AC sebab lubang di dinding rumah dan juga genteng yang tanpa langit-langit sudah menjadi 'AC Alami' bagi mereka. Terkait "kenaikan tarif listrik" atau yang istilah pemerintah "pencabutan subsidi" keluarga ini sudah menyerahkan berkas-berkas semisal KTP dan KK kepada perangkat desa untuk ditindaklanjuti,  namun hingga saat ini belum ada kejelasan. Pihak desa beralasan belum ada petunjuk teknis terkait pengajuan surat tidak mampu ini dan meminta keluarga Pak Busani untuk bersabar.

Yang ironis keluarga miskin ini tidak memiliki 'Kartu Sakti' KPS ( Kartu Perlindungan Sosial ) yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagai penanda Rumah Tangga Miskin. Ini membuktikan bahwa data terkait warga miskin masih belum valid dan perlu pembenahan.

Maka kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik tak pelak menjadi jurus sapu bersih tanpa pandang bulu.

Saya Indonesia, Saya Buta Aksara !



Namanya Widanto, terlahir dalam keluarga miskin di desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep, dan tinggal di sebuah rumah gedek nan sempit berukuran 3x4. Usianya saat ini sudah menginjak 10 tahun. Namun sangat disayangkan Widanto buta aksara, belum bisa baca tulis. Hal ini terjadi karena dia sejak dulu tak pernah mau disekolahkan ataupun mengaji meski berulangkali orang tua serta saudaranya memaksanya. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, yang merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan jaman tak berlaku bagi Widanto.

2 tahun lalu ayah Widanto menghadap Ilahi. Kini dia harus tinggal di rumah sempitnya bersama sang ibu yang hanya berpenghasilan 5 hingga 10 ribu rupiah perhari dari hasil berjualan sate tahu.

Tempat tinggal keluarga ini dapat dikatakan tidak layak huni. Betapa tidak, ruangan yang sangat sempit 4 x 3 dibagi menjadi dua yakni tempat tidur dan ruang depan. Sementara dapur berada disamping berdampingan dengan ruang  tak beratap yang berfungsi sebagai 'kamar mandi'.

Lubang-lubang di dinding rumah gedek itu menjadi 'AC alami' serta menjadi 'Jalan pintas' untuk nyamuk kala malam tiba. Rumah ini berdiri di pinggir jalan desa, bukan tanah mereka tetapi  diatas tanah negara. Selama bertahun-tahun keluarga Widanto tinggal dan menempati bangunan diatas tanah negara ini.

Semoga pemimpin negeri ini melihat dan mendengar bahwa masih ada dan mungkin banyak generasi yang masih buta aksara. Dan semoga, ada perhatian dan solusi terbaik dari berbagai pihak untuk para 'Widanto' . Aamiin...


Toleransi Bukan Hanya Basa Basi

Kekhawatiran berbagai pihak termasuk para elit bangsa belakangan ini terkait toleransi antar umat beragama ternyata tidak segenting yang dibayangkan. Hal ini dapat dibuktikan di lingkungan masyarakat bawah yang ternyata masih kuat rasa saling menghargai dan menghormati sesama anak bangsa meski berbeda keyakinan.

Seorang teman yang baru saja pulang dari pulau Dewata Bali seminggu yang lalu bercerita, dia tinggal cukup lama dan bergaul dengan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Menurut dia interaksi antar umat beragama disana sangat baik dan harmonis.

Selama di Bali dia sering berinteraksi dengan masyarakat lokal termasuk diantaranya sebuah keluarga Hindu, namanya Pak Wayan. Sungguh indah toleransi yang dirasakan teman saya selama di Bali. Saat tiba waktu sholat Pak Wayan seringkali mengingatkan teman saya untuk segera melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Yang menarik suatu hari keluarga Pak Wayan memasak daging babi. Saat waktunya makan Pak Wayan meminta istrinya untuk menyediakan masakan yang berbeda untuk teman saya demi menghormati keyakinan umat islam tentang diharamkannya babi untuk dikonsumsi.

"Buk, tolong masakkan dia telor, jangan lupa sendok dan piringnya ambilkan di lemari yang belum pernah kita gunakan," ujar Pak Wayan pada istrinya.

Mendengar hal ini teman saya tercengang, ia merasa hal ini merupakan perlakuan yang luar biasa ditengah maraknya isu gesekan antar umat beragama akhir-akhir ini.

Semoga toleransi seperti ini tetap ada di seluruh wilayah NKRI yang kita cintai.


Lirik Lagu Rohatil Ahyaru Tasydud ( Kisah Sang Rasul )


Lagu ini begitu populer saat ini di kalangan umat Islam, tidak hanya di dalam negeri bahkan hingga ke negeri tetangga seperti Malaysia, Bunei dan Singapura. Oleh karena itu kali ini saya ingin berbagi lagu yang dipopulerkan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaff ini. Semoga dengan lagu ini kita lebih mencintai lagi Baginda Rasulullah SAW dan menjadi insan yang mendapat syafa'at Baginda Rasulullah SAW.

Berikut lirik lagunya :


رَاحَتِ الاَطيَارُ تَشدُو فِى لِيَالىِ المَولِدِ

وَبَرِيقُ النُّورِيَبدُو مِن مَعَانِى اَحمَدِ

فِى لَيَالِى المَولِدِ


Rohatil Athyaaru Tasyduu
Bi Layaalil Mawlidi

{Burung-burung berkicau bahagia di malam kelahiran Nabi }

Wa Bariiqun Nuuri Yabdu
Min Ma'aanii Ahmadi
Fii Layaalil mawlidi
{ Dan kilatan cahaya terpancar penuh makna dari Ahmad Sang Nabi di malam kelahirannya }

~~~

Abdullah nama ayahnya, Aminah ibundanya

Abdul Muthalib kakenya, Abu Thalib pamannya
Khadijah istri setia, Fathimah putri tercinta
Semua bernasab mulia, dari Quraisy ternama
Inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2 x
yang penuh suka duka, yang penuh suka duka
~~~
Dua bulan di kandungan, wafat ayahandanya
Tahun Gajah dilahirkan, yatim dengan kakeknya
Sesuai adat yang ada, disusui Halimah
Enam tahun usianya, wafat ibu tercinta
Inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2 x
yang penuh suka duka, yang penuh suka duka
~~~
Delapan tahun usia, kakek meninggalkannya
Abu Thalib pun menjaga, paman paling membela
Saat kecil penggembala, dagang saat remaja
Umur dua puluh lima, memperistri Khadijah
Inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2 x
yang penuh suka duka, yang penuh suka duka
~~~
Diumur ketiga puluh, mempersatukan bangsa
Saat peletakan batu, Hajar Aswad mulia
Genap 40 tahun, mendapatkan risalah
Ia pun menjadi Rosul, akhir para Anbiya
Inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2 x
yang penuh suka duka, yang penuh suka duka

Beda Kulit Beda Ongkos ??!

Malam itu tepatnya malam menyambut tahun baru 2017 yaitu Sabtu, 31 Desember 2016 sekitar jam 20.30 WIB usai dari rumah saudara saya sekeluarga naik bus kecil jurusan Blitar -Malang. Ini adalah bus terakhir di Terminal Patria Blitar yang melayani jurusan Malang, atau kita harus menunda keberangkatan hingga dini hari jika lepas dari jam tersebut.

Baru beberapa menit berangkat tiba-tiba bus berhenti karena ada penumpang yang hendak naik, "Bahasa Inggris, aku gak ngerti..!", teriak  kernet di bagian pintu belakang bus. "Walah, sekolahmu opo kok gak ngerti boso inggris," jawab sang sopir. Sayapun menoleh kearah belakang, dan betul saja di pintu belakang terlihat dua orang bule yang sudah naik ke dalam bus.

Salah satu turis berjalan ke depan dan berhenti tepat disamping saya duduk, " Hotel..Lestari..Jalan.. Mer..de..ka.." kata si turis sambil terbata-bata dalam mengucapkannya. Sang sopir akhirnya mengerti jika turis ini hendak menuju hotel Lestari di Jalan Merdeka Blitar.

Bus kemudian segera melanjutkan lajunya, kernet bagian belakang  maju ke bagian depan dan berunding dengan sopir serta kernet bagian depan. " Berapa ongkosnya ?", tanya si kernet. "Bilang saja one hundred thousand (Seratus ribu) ," kata kernet bagian depan yang kelihatannya mengerti bahasa inggris. Mendengar itu saya terkejut, waduuuhhh kok mahal banget, padahal saya dari Blitar ke Malang saja diminta untuk bayar Rp. 25.000.

Setelah beberapa detik kernet bagian depan tersebut menghampiri dua orang bule dan menyampaikan ongkos yang harus dibayar," twenty thousand ( 20.000,-)", Saya tetap berfikir itu mahal,

Benar saja sang turis menolak dan hanya bersedia membayar Rp.10.000,- untuk perjalanan yang hanya ditempuh sekitar 1-2 menit saja yakni turun di jalan pertigaan yang menuju jalan Merdeka mengingat jalan tersebut bukan jalur bus.

Saya kemudian bertanya dalam hati, " Apa memang demikian sikap kita terhadap warga asing ??,". Haruskah kita terapkan harga yang berbeda hanya karena mereka berbeda kulit ??

Powered by Blogger.